WACANA DELAPAN



PARADIGMA PENELITIAN SOSIAL-AGAMA
Oleh: Masroer Ch. Jb.[1]

Untuk bersungguh-sungguh melaksanakan penelitian ke lapangan itu dapat dikatakan gampang-gampang susah. Disebut gampang-gampang susah karena di satu sisi orang yang setiap harinya telah bergelut dengan agama di tengah-tengah kehidupan masyarakat, sedikit banyak ia sebenarnya telah terlibat mengakses informasi, baik melalui media percakapan, mimbar resmi maupun pengamatan terlibatnya ketika menjumpai masyarakat yang digaulinya. Akses informasi dari hasil pergaulan dan bahkan pergumulannya di masyarakat yang diperoleh dengan gampang itulah yang bisa dipakai sebagai data-data otentik yang kelak diolah untuk dijadikan bahan laporan kegiatan keagamaannya di masyarakat.
Dari situ, sebenarnya orang sedang melakukan langkah awal sebuah penelitian, jika memang hal itu dapat disamakan dengan aktivtas penelitian. Karena itu, orang dengan posisi dan profesi apapun ketika bermasyarakat sebenarnya ia telah mengolah informasi menjadi data yang itu semua dapat dianalogikan sebagai tindakan penelitian. Namun di sisi lain susahnya, tidak semua orang yang melakukan tindakan yang mirip penelitian itu disebut sebagai peneliti. Ada kriteria utama yang harus ia pegangi untuk menjadikan dirinya sebagai peneliti yang pofesional, yaitu langkah-langkah intelektual yang terencana dan sistematis sekaligus metodologi yang dapat dipertanggungjawabkan secara akademis, guna mendapatkan kesimpulan penemuan dari masalah yang digelutinya. Salah satu langkah inteletual (ilmiah) yang terencana dan sistematis dalam melaksanakan tindakan penelitian itu ialah memulainya dengan menentukan paradigma apa yang seharusnya diputuskan ketika ia hendak terjun ke dunia penelitian yang diminati.

Paradigma menjadi penting karena ia menjadi dasar berpikir dan gagasan besar (grand idea) seorang peneliti ketika hendak melaksanakan penelitian. Paradigma dapat dipakai pula sebagai pedoman dasar atau arah mau ke mana penelitian yang sedang dilakukan itu difokuskan untuk mendapatkan kesimpulan-kesimpulan maupun menentukan metodos yang digunakannya. Untuk itu peradigma menjadi hal yang paling vital dipegangi karena ia sebenarnya menjadi landasan berpikir (fundamental of mind) peneliti ketika hendak terjun ke lapangan yang dijadikan subyek atau obyek penelitian yang hendak dilakukan. Lalu masalahnya kemudian paradigma apa yang seharusnya dipakai si peneliti ketika hendak melakukan penelitian di lapangan? Lebih-lebih penelitian yang menyangkut masalah-masalah sosial-keagamaan?

Untuk menjawab pokok pernyataan yang ditanyakan itu, tidak bisa tidak kita harus mengetahui dahulu apa yang dimaksud dengan penelitian sosial keagamaan dan bagaimana bidang-bidang yang semestinya dipersoalkan. Secara simplistik, penelitian sosial keagamaan dalam benak pikiran kita dapat diartikan sebagai penelitian yang menyangkut hubungan-hubungan agama di masyarakat atau persoalan-persaolan sosial yang berhubungan dengan agama. Jadi kita sebagai peneliti di bidang seperti ini sebenarnya sedang merumuskan masalah-masalah yang terjadi dalam masyarakat beragama. Sudah pasti, semua masyarakat di Indonesia yang menjadi subyek penelitian kita adalah masyarakat yang beragama karena memang semua individu yang hidup berkelompok di negeri ini secara politik diharuskan untuk beragama --sejelek atau sebaik apapun agama yang dijalaniya-- sekaligus diharamkan pula beratheis alias tidak beragama atau ber-pseudo agama. Ini berarti semua orang Indonesia itu memang telah beragama, bahkan sejak lahir sudah beragama, seperti yang ditunjukkan dari kartu kepemilikan keluarga (KK) yang dikeluarkan oleh pemerintah desa atau kecamatan or kabupaten, misalnya. Namun sekali lagi, sudah barang tentu masyarakat yang beragama tersebut dalam kebergamaannya juga melahirkan problem-problem keagamaan yang khas secara sosiologis, seperti yang dicontohkan dari bukti kepemilikan KK bagi bayi dan anak-anak tadi.

Dalam konteks masyarakat beragama seperti itu, sebenarnya penelitian sosial keagamaan bertumpu pada adanya relasi timbal balik antara agama dan masyarakat serta akibat yang ditimbukannya dari relasi itu. Dan ini tentu saja memerlukan pemahaman yang benar bagaimana agama yang menjadi dasar iman seseorang yang diwahyukan oleh Tuhannya ternyata ketika dilihat dalam praktek-praktek kolektif dan individualnya di masyarakat selalu menciptakan persoalan-persoalan sosial yang menarik dan menantang untuk diteliti.
Di sinilah pemahaman dasar kita dalam mempesepsikan penelitian sosial keagamaan sebetulnya berhubungan dengan iman yang bersifat dokmatik kebenarannya di satu sisi, dengan ilmu kemasyarakatan (sosial science) yang bersifat relatif kebenarannya di sisi lain, dicoba digumulkan dalam satu masalah yang hendak diteliti.

Untuk itu pemahaman yang seperti inilah yang merangsang almarhum Profesor Mukti Ali mengagas bangunan paradigmatik penelitian (social-agama) yang berbasis saintific cum doctrinair. Jadi penelitian yang dilakukan menurut Mukti Ali dari paradigma yang dibangunnya itu, tidak hanya dimulai dengan melihat persoalan-persoqlan agama yang timbul di masyarakat dari sudut pandang ilmu pengetahuan ilmiah yang kebenarannya relatif un sich dalam arti dapat diperdebatkan bahkab digugurkan, melainkan harus melibatkan iman yang bersifat dokmatik si peneliti sekaligus subyek penelitiannya, terutama ketika menganalisis persoalan-persoalan tersebut.

[1] Disampaikan dalam Pelatihan Penelitian Sosial Agama Centre for Interreligious Studies (CIRES) Yogyakarta, Jum’at 16 Maret 2007.