WACANA TIGA

Globalisasi & Pluralitas Kita
Oleh : Masroer Ch. Jb.

Artikel lepas yang tersusun ini dipublikasikan dengan maksud pokok mencoba memberi responsi yang –meminjam pikiran Jurgen Habermas-- agak kritis secara epistemik sekaligus sedikit sinis terhadap arus globalisasi dan anak kandungnya; pluralisme sebagai “new world order” satu-satunya yang harus diterima dari hasil traformasi peradaban Barat, dan implikasinya bagi spirit nasional kita di Indonesia. Untuk itu tidak usah merasa harus terkejut sekaligus menghujat jika artikel lepas ini hanya dipaparkan dalam bentuk narasi-narasi simplistis yang sama sekali tidak mengandung kedalaman dan keluasan arti globalisasi itu sendiri secara teoritis dalam persepsi epistemologi sosial. Namun metode kritisisme epistemik yang dipakai dalam penulisan artikel, layak diparesiasi sebagai “karya ilmiah” yang barangkali agak berbobot menurut subyektivtas saya.

Dalam pada itu, globalisasi dunia (globalization of the world) yang sebagian besar diimpor dari negeri AS, kini tidak saja merambah negeri-negeri serumpun AS yang terletak di daratan benua Eropa (Eropa Kontinental) plus kepulauan Britania Raya, melainkan telah merasuki pula di hampir seluruh pelosok dunia, termasuk Indonesia. Globalisasi itu seperti komoditas yang diperjualbelikan oleh produsen kepada konsumen. Globalisasi diproduksi sekaligus dikonsumsi oleh penduduk negeri tanpa mengenal batas-batas wilayah negara, geografi, iklim, ras, dan bahkan agama. Dalam “dunia” globalisasi, baik produsen maupun konsumen keduanya sama-sama diuntungkan. Yang pertama diuntungkan oleh karena kemampuan menjual produksinya sehingga menghasilkan keuntungan finansial yang berlipat ganda dan kejayaan diri (powerself), yang kedua diuntungkan oleh karena kemampuan mengkonsumsi produk globalisasi yang kemudian menghasilkan kepuasan jiwa, materi, dan kenikmatan tubuh.

Sebagai produsen terbesar globalisasi saat ini, rupanya AS dengan gencar menperdagangkannya ke penduduk negeri di berbagai belahan dunia. Tidak hanya diperdagangkan di kawasan negeri-negeri Timur Tengah, Amerika Latin, Afrika, dan Asia, tetapi juga telah masuk tanpa permisi di depan pintu rumah kita; Indonesia. Dagangan globalisasi AS itu kadang-kadang dilakukan melalui cara-cara halus dan damai layaknya pedagang yang jujur, tetapi tidak sedikit yang dijalankan dengan cara kekerasan (militer) dengan seperangkat alat teknologi tinggi, seperti yang dipertontonkannya di negeri Irak baru-baru ini.
Melalui teknologi informasi (IT) yang canggih, globalisasi membawa segudang barang dagangan. Mulai dari ide dunia (world view), ideologi, ilmu pengetahuan, fashion, makanan instan, industri film, arsitektur, produk budaya, website, teknologi perang, civil society, bahkan juga model agama. Dalam bidang agama dan produk budaya misalnya, globalisasi menyebarkan ide kesadaran akan pluralisme dunia (world pluralism). Pluralisme, baik dari budaya maupun agama yang kita kenal dengan istilah multikultur dan multireligius, merupakan kebutuhan dasar manusia yang hidup di era yang disebut dengan peradaban global (global civilization).

Karena itu gagasan mengenai kebutuhan manusia akan pentingnya kehidupan yang multikultur dan multireligius juga menjadi isu penting di negeri ini. Isu ini bertolak dari paradigama dasar bahwa tanpa kebutuhan akan kesadaran multikultur dan multireligius, justru manusia akan teralienasi dari lingkungan hidup yang digumulinya secara sosial. Kenapa begitu? Oleh karena negeri ini sejak dahulu kala memang sudah dalam kondisi hidup bermasyarakat yang multikultur dan multireligius; bhineka tunggal ika, begitulah Mpu Prapanca, seorang pujangga kuno menyimpulkan kondisi yang plural seperti itu.

Karena itu tidak heran jika Indonesia, negeri yang pada masa lampau disebut dengan nusantara ini, ternyata telah dihuni beratus-ratus suku, etnik, budaya, dan religi yang hidup berdampingan dan saling berinteraksi selama berabad-abad. Sejarah kebangsaan kita mencatat dengan gamblang, di persada nusantara terdapat banyak sekali keanekaragaman (pluralistas), baik dari suku bangsa maupun religinya. Ada suku bangsa Batak dengan segenap pernik budaya, religi, dan bahasanya, terdapat pula suku bangsa Dayak, Madura. Arab, Jawa, Tionghoa, Flores, Bugis, dan sebagainya yang saling berkomunikasi, meskipun hidup di kepulauan yang dipisahkan oleh lautan. Namun justru melalui hubungan lautan, mereka berinteraksi sosial, berdagang, kawin mawin dan membuat kontrak politik yang membentang dari penghujung pulau Sabang (Aceh) sampai ke ujung timur Merauke di tanah Papua.

Jadi barangan dagangan globalisasi untuk yang satu ini (pluralisme) memang sudah tidak asing lagi. Ia bukan barang yang baru, aneh, dan diharamkan di negeri yang berpenduduk terbesar keempat di dunia. Karena itu, sebenarnya kita hanya dibangkitkan dari tidur lelap tentang kesadaran pluralisme tersebut. Sekarang kesadaran itu muncul dengan tiba-tiba bersaman dengan tumbuhnya gelombang reformasi Indonesia. Di mana-mana semua orang dan institusi berbicara tentang pluralisme dengan tema-tema yang beragam, mulai dari religi lokal, local wisdom, budaya etnik lokal, desentralisasi, otonomi daerah sampai ke persoalan putra daerah, sesuatu yang dulu tabu dibicarakan. Tetapi kini telah menjadi wacana yang ramai didiskusikan dan dipaparkan di media cetak maupun elektronika.

Menjelang Pemilu tahun 2009, pluralistas bangsa kita agaknya akan mendapat ujian hebat lagi. Masing-masing partai politik sudah pasti ingin bersaing keras mencari dukungan, baik dukungan yang diperoleh dari suku bangsa tertentu, agama tertentu maupun budaya tertentu bahkan kalau perlu semuanya mendukung partai politik tertentu. Bisa jadi kompetisi ini menimbulkan persoalan dimana pluralistas kita akan jatuh ke dalam jurang yang paling dalam dan rendah (asfala safilin). Pluralistas sekadar dijadikan alat oleh sekelompok pemimpin politik untuk mengungkit-ungkit sentimen religius, suku, dan sentiman golongan, sehingga membangkitkan fanatisma sempit dan anarkhisme. Pluralistas yang diperalat sedemikian sempit dan tidak beradab itu pada ujungnya hanya akan menciptakan anomi, dan bahkan pertumpahan darah diantara sesama anak bangsa senidiri.

Oleh karena itu pluralisme di negeri ini harus dipakai sebagai tujuan bukan alat, misalnya guna memenangkan perlombaan dalam Pemilu 2009 kelak. Dengan media (baca; alat) demokrasi politik dalam arti yang senyatanya, masing-masing partai politik dapat berlomba-lomba untuk memenangkan Pemilu 2009 demi tegak dan berkembangnya pluralisme Indonesia. Sebuah model pluralisme yang diikat oleh nilai universal nasionalisme yang bertumpu pada nilai-nilai partikular pluralisme (lokal) itu sendiri, seperti keadilan dan toleransi. Tanpa itu semua, maka visi dan jargon partai politik yang masih mempertahankan sektarianisme dan primordialisme, sudah pasti tidak akan mendapat dukungan besar dari segenap suku bangsa dan agama di Indonesia. Di mana langit dijunjung, di situ bumi dipijak! 

Artikel u Pro Independensia Bakornas LAPMI PB HMI 2007

WACANA SEMBILAN

Agama, dan Etika Perdamaian
Oleh : Masroer Ch. Jb.*


Kekuatiran dari kalangan dunia usaha beberapa waktu lalu akan terjadinya konflik kekerasan dalam Pemilu 2004 & 2009 ternyata hingga detik ini hanya isapan jempol belaka alias tidak terbukti. Setiap Pemilu digelar ada anggapan akan membawa resiko tinggi, yakni memicu konflik. Alasanya, selain Pemilu diselenggarakan di tengah kehidupan nasional yang masih didera krisis dan trauma konflik agama dan etnik yang silih berganti, juga momentum Pemilu kali ini ada tiga hal yang baru yang kemungkinan tidak dipersiapkan secara matang dalam pelaksanaannya. Yang baru dari pesta demokrasi tersebut ialah selain dilangsungkan dalam tiga kali putaran pemilu yang memakan waktu hampir setahun, juga adanya pemilihan presiden dan wakilnya yang dipilih langsung oleh rakyat. Alhamdulillah, pada putaran pertama Pemilu kemarin kekuatiran tadi tidak menjadi kenyataan. Pemilu telah berjalan relatif sukses dan damai di seluruh pelosok Tanah Air.

Masalahnya lantas bagaimana jika konflik benar-benar menyeruak dalam putaran pemilu selanjutnya yang kini mulai tampak di depan kita? Bisakah agama yang selama ini dianggap sebagai kekuatan yang paling suci; terbebas dari konflik (kepentingan) mempunyai peran mengantisipasinya? Atau ia malah terlibat dalam konflik karena banyaknya tokoh agama berinkarnasi menjadi politisi yang saling bersaing keras? Agama dan konflik Pemilu merupakan dua hal yang terpisah. Tetapi jika keduanya berada dalam tempat dan momentum yang sama tentu masalahnya menjadi lain. Dalam pemilu 2004 dan juga pemilu-pemilu sebelumnya, para tokoh agama seringkali masuk dalam wilayah ini, bahkan berinkarnasi menjadi politisi yang ramai-ramai diusung menjadi calon presiden, misalnya. Di sini agama dan politik telah berjalin kelindan karena sama-sama berujung pada perebutan kekuasaan (power). Isul keharaman perempuan menjadi presiden yang difatwakan sekelompok ulama menjadi contoh baik bagaimana politik berkelindan dengan agama atau politisasi agama.

Kalau sudah begitu, eksistensi dan fungsi agama menjadi paradok. Di satu sisi ia terlibat dalam konflik oleh karena peran dirinya yang berubah menjadi kekuatan politik yang bertarung. Tetapi di sisi lain agama juga bisa berperan secara efektif lewat medium keperpolitikan untuk mengajarkan betapa urgensinya agama dalam membangun masyarakat yang damai dan aman. Ini artinya agama dapat memotivasi pencapaian pendidikan politik warga bangsa dalam menyalurkan hak politiknya secara damai.

Dimensi teologis semua agama sejatinya memang mengajarkan untuk mewujudkan nilai-nilai perdamaian --bukan konflik-- di segenap kehidupan yang dijalani para pemeluknya. Hidup damai merupakan kebutuhan asasi yang didambakan manusia di sepanjang hayatnya karena ia tidak saja menyangkut kebutuhan etis yang diinginkan manusia, seperti rasa aman, tetapi juga kebutuhan estetis; rasa nyaman dan keindahan. Nilai-nilai perdamaian seperti inilah yang secara eksistensial, sebenarnya telah menempatkan agama berada dalam wilayah transendental (the trancedent area); suatu wilayah yang sarat dengan nilai-nilai keilahian.
Di wilayah transendensi ini pula nurani manusia didorong untuk selalu mencari kebenaran ilahiah yang menjadi tujuan hidup yang hendak diraihnya. Ketika kebenaran telah sebangun maknanya dengan nilai perdamaian, sebenarnya manusia telah memahami eksistensi dirinya sebagai makhluk religius. Inti eksistensi dirinya sebagai makhluk religius (homo religious) terletak pada kemampuannya untuk mau mewujudkan nilai-nilai perdamaian yang bersifat trensedental itu ke dalam wilayah imanen. Dengan ajaran dasar tentang perdamaian yang terdapat di masing-masing ajaran agama, maka suatu agama jika kehadirannya sama sekali tidak membawa nilai-nilai perdamaian, sebaliknya cenderung mengobarkan konflik, tentu ada sesuatu yang aneh dari ajaran agama yang bersangkutan ketika ia diamalkan pemeluknya.

Kalau sudah demikian logika yang dipedomani, mengapa agama-agama justru amat sulit mewujudkan secara total (kaffah) pesan dasar transedensinya tersebut ke dunia? Bahkan seringkali ia terperosok ke dalam jurang perselisihan yang menumpahkan darah, seperti yang terjadi di Palestina dan bahkan di Ambon? Adakah kita sebagai kaum beragama telah salah dalam memahami agama sehingga kearifan akal budi menghilang ketika keberagamaan kita justru terselubungi beragam kepentingan, seperti kekuasaan (politik), apalagi dalam momentum Pemilu saat ini?

Ada jawaban sosiologis yang menggoda untuk merespon pertanyaan di atas. Dalam konteks sosial, fenomena keagamaan yang terkesan paradoksal tersebut; berdamai sekaligus juga kehendak berkonflik ria merupakan gejala yang lazim-lazim saja dalam masyarakat agama (social religions). Geertz sendiri pernah menjelaskan hubungan agama dan masyarakat ternyata berada dalam dua wilayah relasi, yaitu struktural dan fungsional. Di wilayah struktural kehadiran agama dapat menjadi pemicu konflik. Tetapi sebaliknya perspektif fungsional melihat agama sebagai alat perekat (integrated). Ini berarti agama tidak semata-mata mendorong orang untuk hidup rukun dan damai sebagai bentuk dari pengejawantahan nilai-nilai integrasi, melainkan pula ia menjadi alat pemicu yang ampuh bagi timbulnya konflik, lebih-lebih jika agama berubah fungsinya menjadi kekuatan kepentingan (interst group).

Dengan demikian konflik dipandang sebagai hal yang wajar pula karena sejalan dengan watak dasar manusia yang menghendaki hidup dinamik. Levis A. Coser dalam bukunya yang berjudul The Function of Social Conflict mengungkapkan konflik itu positif sepanjang ia berada dalam tahapan perubahan (social change). Dengan konflik justru perubahan akan menghasilkan nilai-nilai integrasi baru yang lebih kokoh. Artinya konflik dapat melahirkan integarasi baru sebagai konsekuensi dari terjadinya perubahan dimana nilai-nilai integrasi lama mulai kehilangan daya ikatnya. Di sini nilai-nilai lama mulai ditinggalkan sekaligus digantikan oleh nilai-nilai baru.

Karena itu konflik justru dibutuhkan dengan tujuan untuk memelihara perdamaian itu sendiri; via pacem para bellum. Melalui jalan konflik, ekses kekerasan yang dikuatirkan mencuat bisa dihilangkan sehingga konflik sejalan dengan tujuan perdamaian yang hendak diwujudkan. Yang ditolak adalah ekses kekerasan yang ditimbulkan akibat konflik karena kekerasan bagaimanapun bertentangan dengan kebutuhan asasi manusia yang menginginkan hidup aman dan damai. Sedangkan konflik itu sendiri positif (baik) kerena sebangun dengan tujuan yang hendak diraih dari konflik itu, yakni terciptanya perdamaian.

Kendati demikian, dari struktur dan nilai-nilai sosial-keagamaan yang berlaku di masyarakat kita, agaknya pandangan yang menempatkan agama sebagai pemicu konflik lebih lebih dalam persaingan pemilu, tidak menemukan banyak pengikut. Bahkan pandangan ini ditolak sebagian besar masyarakat. Justru yang terjadi agama ditempatkan sebagai faktor penting munculnya integrasi. Agama dinilai sebagai pengawal kerukunan dan kedamaian hidup, terutama yang masih dianut masyarakat yang bertempat tinggal di kampung-kampung, desa-desa, dan di kota-kota kecil. Dalam konteks masyarakat seperti ini, kerukunan dan kedamaian hidup identik dengan ketentraman dan ketenangan suasana sosial.

Namun nilai-nilai kerukunan dan kedamaian hidup yang berlaku di masyarakat kita agaknya bertumpu pada pandangan dunia (worldview) tentang keseimbangan hidup yang dianut bangsa kita. Kehidupan ini harus berjalan seimbang; tidak berat sebelah, syukur dapat diintegrasikan menjadi satu kesatuan dari dua kekuatan mikro dan makrokosmos. Di sini makna kerukunan dan kedamaian diwujudkan dalam kesatuan integratif dari berbagai kekuatan yang berfungsi di masyarakat. Agama sebagai salah satu kekuatan masyarakat, sudah pasti berfungsi untuk menjaga kepentingan keseimbangan ini. Jika agama tidak menfungsikan dirinya seperti ini, maka agama akan teralienasi dari dunia sosial (politik)nya. Padahal kalau agama telah mengalami keterasingan (alienation), kehadirannya akan menciptakan ketegangan-ketegangan yang sebenarnya tidak dicita-citakan oleh agama itu sendiri.

Oleh sebab itu dengan fungsi perekat sosial, peran agama –apapun agamanya-- diharapkan mampu berdialog mencari titik-temu (kalimatun sawa’) untuk membangun solidaritas yang kukuh. Namun solidaritas yang dibangun tidak akan kukuh dalam arti bertahan kekal kalau tidak disertai landasan etika. Karena itu masyarakat yang pluralitas agamanya tinggi seperti di Indonesia ini, upaya mencari titik-temu agama mesti diarahkan untuk mengembangkan etika bersama sebagai fondasi dari solidaritas integratif yang hendak diciptakan. Wallahu A’lamu

Titik temu tersebut bisa diwujudkan dalam bentuk rumusan etika bersama dalam menentukan aturan main di setiap kerja-kerja sosial (politik) yang dilakukan diantara agama-agama itu sendiri dengan mencari nilai-nilai persamaannya yang sudah pasti ada di setiap agama, seperti mengatur bagaimana perdamaian itu bisa kekal. Dengan etika bersama (global social ethic) tersebut, maka seluruh kepentingan dan tujuan di masing-masing agama dapat diatur untuk menopang ordo sosial (politik) yang tertib dan damai sesuai dengan esensi dasar semua ajaran agama itu sendiri yang menghendaki terciptanya perdamaian abadi. Pertanyaannya kapan para tokoh agama kita akan mengkonkretkannya, tidak asyiik masyuk dalam politik yang memabukkan? Wallahu a’lam.

WACANA 10


BERKONFLIK DITENGAH KEBEBASAN BERAGAMA
Kasus SKB 2 Menteri

Oleh : Masroer Ch. Jb.


Masalah kebebasan beragama selalu menjadi wacana yang menarik sekaligus menimbulkan ketegangan bagi hubungan antaragama. Daya tarik sekaligus ketegangan yang ditimbulkan oleh kebebasan beragama (freedom of religion) terletak pada dikaitkannya masalah ini dengan persoalan hak asasi manusia yang kini, menjadi komitmen etis di hampir semua negara di dunia dan juga telah diratifikasi oleh Pemerintah Indonesia. Karena itu, di setiap timbul persoalan hubungan antaragama yang berbentuk relasi diskriminatif di suatu negara, misalnya akan selalu dihakimi oleh masyarakat dunia sebagai bagian dari pelanggaran terhadap hak-hak dasar manusia. Urusan agama dan keberagamaan yang dijalani orang beriman, dengan demikian bisa menjadi pemicu munculnya pelanggaran hak asasi manusia (human rights). Padahal pelanggaran terhadap hak asasi manusia sama saja artinya dengan tindak kejahatan terhadap kemanusiaan. Dan itu secara teologis, dosanya luar biasa besar bagi yang melakukannya!
Orang memaksakan diri mendakwahkan agamanya di lingkungan masyarakat yang menolak didakwahi, misalnya juga dapat dihukumi melanggar hak asasi manusia, terutama hak-hak individu atau kelompok untuk berbicara dan mengeluarkan pendapat yang berbeda. Begitu pula pembongkaran paksa terhadap tempat ibadah, seperti yang dialami di sejumlah masjid milik jemaah tertentu, juga dapat dinilai sebagai pelanggaran terhadap hak asasi manusia.
Ini menunjukkan masalah kebebasan beragama sebenarnya selalu terkait dengan tarik menarik diantara wajah agama yang mendua, yaitu agama yang berwajah dakwah atau misionarisme di satu sisi, dan di sisi lain wajah agama yang bersemangatkan dialog dan kerukunan. Karena itu masalah kebebasan beragama dalam prakteknya kerap mendorong munculnya ketegangan bahkan konflik, jika ada dua agama yang memiliki kepentingan yang sama; berdakwah sekaligus berdialog dengan agama lain, misalnya bertemu di tempat dan dalam waktu yang bersamaan, apalagi dalam iklim religius yang dibebaskan. Sulit memisahkan ketika seorang rohaniawan (pendeta) sedang berdialog agama di wilayah publik, sebenarnya ia murni berdialog atau disertai dengan motivasi berdakwah. Sebaliknya juga sukar rasanya membedakan seorang kiai atau dosen yang sedang berdakwah, ia sebenarnya betul-betul berdakwah atau memang sedang berdialog dengan dalil-dalil epistemologinya, apalagi jika materinya menyangkut dialog agama. Dua wajah dari semangat agama itulah yang sebetulnya menjadi inti persoalan yang diperdebatkan dalam wacana kebebasan beagama.
Di Indonesia masalah kebebasan beragama, pada awalnya dihubungkan dengan masalah kerukunan beragama, namun istilah itu kemudian bergeser menjadi kebebasan beragama, dan itu pun dalam pengertian yang tidak tunggal lagi. Kini, masalah kebebasan beragama di Indonesia telah ditafsirkan sedemikian plural, bahkan liar.
Oleh karena itu kita tidak perlu merasa terkejut –sekalipun itu menyakitkan, jika kebebasan beragama juga dapat diartikan sebagai kebebasan untuk berpindah agama. Jadi orang berperilaku murtad yang selama ini merupakan sikap keberagamaan yang dipandang paling menyakitkan dan dibenci oleh orang beriman, malah dipersepsikan sebagai sikap positif dan sejalan dengan semangat kebebasan beragama. Padahal dalam hukum Islam klasik, orang murtad dapat dihukumi dengan sanksi pidana mati. Demikian pula dalam semangat yang sama namun dalam bentuk yang berbeda, di Kerajaan Kristen Spanyol zaman dahulu, orang malah disuruh untuk murtad. Kalau tidak, ia akan dihukum bunuh atau diusir dari tempat tinggalnya yang didominasi umat Kristiani itu.
Dalam konteks perkembangan dunia global yang kian menyatu (global village) sekarang, kebebasan beragama juga ditafsirkan dalam konteks yang lebih jauh lagi, yakni kebebasan untuk tidak beragama, seperti yang terjadi di negara-negara maju semisal Amerika, Inggris, dan Perancis. Di Amerika dan Perancis, misalnya orang atheis dan atau orang tidak beragama malah lebih dihormati ketimbang orang Islam; ironis dan tidak adil memang!
Sementara dalam konstitusi negara kita yang selayaknya kita patuhi, yaitu dalam klausul UUD 1945 Pasal 29 ayat 2, kebebasan beragama justru ditafsirkan sebagai “…kemerdekaan setiap penduduk untuk beribadah sesuai dengan kepercayaan dalam ajaran agamanya masing-masing”. Ini artinya kebebasan beragama dimaknai dalam konteks bahwa setiap warga negara Indonesia diberikan kebebasan menjalankan ibadah dan meyakini agamanya.
Masalahnya yang hendak dipersoalkan di sini adalah apakah kemerdekaan (baca: kebebasan) beragama di setiap warga negara yang menjalankan ibadah dan memeluk suatu agama itu hanya dibolehkan secara individu atau juga kolektif? Jika kebebasan warga negara untuk memeluk agama dan menjalankan ibadahnya, juga dibenarkan secara kolektif, maka dengan begitu setiap kelompok agama diberikan kebebasan untuk berdakwah. Karena berdakwah toh menjadi bagian dari menjalankan ibadah dan keyakinannya. Kalau orang bebas berdakwah sudah pasti pada gilirannya orang juga akan bebas untuk mendirikan tempat ibadah di mana pun ia suka-suka. Karena bagaimana pun tempat ibadah tidak sekedar berfungsi sebagai tempat melaksanakan ritual dan kebaktian pribadi, tetapi juga berfungsi sebagai sarana menyiarkan ajaran keagamaannya alias menjadi markas dakwah (markaz al-da’wah).
Dalam konteks revisi SKB 2 Menteri (Menteri Dalam Negeri dan Menteri Agama) baru-baru ini, misalnya isu kebebasan beragama agaknya juga dihubungkan dengan masalah kebebasan mendirikan tempat ibadah. Dalam kasus ini, isu kebebasan beragama yang diwacanakan, khususnya antara kelompok Islam dengan Kristen terlihat menimbulkan perdebatan yang sengit sehingga menjadi polemik berkepanjangan bahkan konflik karena adanya motivasi kedua belah pihak untuk berusaha saling mengalahkan demi menggoalkan kepentingan religiusnya masing-masing, agar ditetapkan sebagai aturan resmi dalam klausul SKB 2 Menteri itu. Di sini antara pihak Islam dengan non Islam berusaha saling memaksakan tafsir tunggal atas makna kebebasan beragama dalam arti kebebasan membangun tempat ibadah. Dari sejumlah media massa nasional yang sempat kita lihat dan baca, rupanya kedua agama tersebut terus saling beradu argumentasi dan saling mendesakkan kepentingannya masing-masing untuk menguasai wacana publik agama di Indonesia. Akibatnya yang terjadi kemudian masalah kebebasan beragama yang diperdebatkan itu malah jatuh ke dalam konflik kepentingan dari masing-masing agama, sehingga mereka telah kehilangan ketulusannya dalam beragama.
Masalahnya yang hendak didiskusikan di sini adalah apakah tafsir kebebasan beragama hanya bergulat dengan masalah kebebasan berdakwah yang menjadi agenda pokok semua agama di Indonesia? Dan adakah sebuah peraturan yang mengatur kebebasan beragama dan atau kebebasan membangun tempat ibadah benar-benar merupakan peraturan yang membebaskan? Lagi pula apakah ada di dunia ini sebuah peraturan atau hukum (kanonik) itu berfungsi untuk membebaskan? Jadi wacana kebebasan beragama, dan hukum kebebasan beragama jelas dua persoalan yang berbeda dan tidak dapat dicampuradukkan….  
Artikel Opini pertama kali dimuat di Harian Kedaulatan Rakyat, April 2006