WACANA EMPAT

timbangan buku

HISTORY OF JAVA : SEJARAH PERJUMPAAN AGAMA2 DI JAWA

Oleh : Masroer Ch. Jb

B A G I A N P E N D A H U L U A N

Pertanyaan awal mengenai apa itu arti sejarah, dapat dicari jawabannya dengan mudah kalau dilacak dari akar kata (terminologi) sejarah itu sendiri. Dari sisi etimologi terungkap bahwa kata sejarah bukan kata dasar yang berasal dari bahasa asli (indegenous), seperti bahasa Jawa, Minang, atau Indonesia, bukan pula dari bahasa asing serumpun Eropa, seperti bahasa Inggris, tetapi ia terambil dari kata Arab yang terserap ke dalam kata Indonesia; syajaratun yang berarti pohon. Berbeda dengan bahasa Inggris yang menamai sejarah dengan kata history yang berarti bukan cerita (khayalan); atau fakta.

Dari pengertian asal usul kata Arab tersebut, dapat disimpulkan sejarah diartikan sebagai pohon hidup, yang dimulai dari biji yang ditanam, akar yang tumbuh, batang yang meninggi, cabang yang mengembang, ranting yang menyebar sampai ke dahan yang patah tumbuh hilang berganti. Sejarah ibarat sebatang pohon, ia memiliki pola gerak secara bertahap dari tumbuh meninggi ke berkembang. Pola gerak dari tumbuh dan berkembang inilah yang menjadikan makna peristiwa sejarah berintikan sebagai suatu perubahan (change). Esensi sejarah adalah peristiwa perubahan itu sendiri. Sedangkan perubahan itu bisa bermakna ganda; yaitu pergantian dan pergeseran. Dalam sejarah, perubahan bisa berarti pergantian dari yang lama ke yang baru; yang lama hilang muncul yang baru, bisa pula dimaknai pergeseran dari yang kuno ke yang paling mutakhir, dan kembali ke kuno lagi; dari tempat di sebelah kiri bergeser ke sebelah kanan dan kembali lagi bergeser ke tempat sebelah kiri, dan seterusnya begitu.

Sejarah dapat juga didefinisikan sebagai peristiwa lampau, tetapi tidak semua peristiwa lampau dapat dikategorikan sebagai peristiwa sejarah. Peristiwa sejarah mempunyai karakteristik dasar yang unik (unique history) dan hanya terjadi sekali. Dalam arti sebagai peristiwa masa lalu sejarah memiliki dimensi temporal yang sangat penting, yaitu lampau, kini, dan mendatang.[1] Jika masa lampau dapat diketahui maknanya, maka sejarah dapat menjadi guru yang baik guna memahami masa kini dan memproyeksikan masa depan.

Oleh karena itu ketika makna sejarah dapat dipahami, maka ia telah mendidik kita dengan berbagai sajian kebenaran dan kesalahan, yang kesemuanya dapat diambil sebagai pelajaran berharga bagi perbaikan dan keberhasilan hidup di masa mendatang[2]. Mendiang Presiden Soekarno; mantan pemimpin besar revolusi Indonesia yang kesohor itu pernah menegaskan pentingnya mengambil pelajaran dari peristiwa sejarah. Ia mengingatkan kepada pengikut-pengikutnya yang setia agar jangan sekali-kali meninggalkan sejarah; Jasmerah! Al Qur'an pun yang diimani sebagai firman Tuhan yang di bawa oleh Nabi Muhammad SAW lebih dari seribu empat ratus tahun yang lalu sudah berpesan demikian; "....hendaklah setiap diri mengambil pelajaran dari apa yang telah diperbuat dalam sejarahnya untuk bekal hari esok..."[3].

Persoalannya lantas peristiwa sejarah yang memiliki dimensi temporal tersebut apakah bergerak mengikuti garis linear atau sirkular? Di sini makna dimensi waktu dalam kehidupan menjadi faktor yang menentukan ketika memahami peristiwa sejarah. Bagi kehidupan orang Jawa, misalnya waktu itu dimengerti seperti air danau yang tidak diketahui dari air itu bersumber, dan akan ke ujung mana air itu mengalir, tanpa pangkal dan ujung atau ia tidak bermuara sama sekali. Karena itu gerak kehidupan dengan dimensi waktu yang menyertainya merupakan proses yang berputar-putar. Dengan begitu bagi orang Jawa, peristiwa sejarah akan dipahami berbeda dengan apa yang terdapat di belahan dunia Barat atau Arab. Peristiwa sejarah yang menyangkut kehidupan manusia diibaratkan seperti gerak roda yang melingkar. Ia adalah cakra manggilingan (roda yang berputar). “Hidup itu lho mas seperti mengikuti roda yang berputar, kadang-kadang kita di atas, kadang pula berada di bawah”, begitulah yang seringkali terdengar jika orang Jawa sedang memberi nasehat kepada tetangga dekatnya.

Demikian pula bagi kebanyakan orang Islam di Jawa, mereka memahami sejarahnya seperti peristiwa kehidupan yang terjadi secara berulang-ulang. Sejarah bergerak melingkar (circular), dengan ujung dan pangkal yang sama, tanpa akhir. Lingkaran kehidupan, yakni lahir, hidup, dan kematian manusia, semuanya telah ditetapkan sebagai suratan takdir.[4] Lingkaran kehidupan ini harus diterima apa adanya sebagai nasib yang telah ditentukan oleh kekuatan yang berkuasa atas dirinya. Karena itu tidak perlu ada perubahan dalam dirinya; yang penting nasib dijalani sebagaimana mestinya. Kalau toh ada perubahan, ia harus mengharap (njagakke) perubahan itu datang dari kekuatan di luar dirinya, sebab jika perubahan itu muncul dari kehendak dalam dirinya sendiri, tentu saja akan dianggap sebagai hal yang buruk karena dianggap melawan takdir.

Untuk itu dalam penulisan ini, rekonstruksi suatu peristiwa sejarah dalam perspektif Jawa akan digunakan sebagai pendekatan (approach). Tetapi pendekatan ini memiliki kelemahan, diantaranya pertama, peristiwa sejarah tidak mengalami periodisasi, akibatnya tidak muncul pemaknaan yang progresif melainkan statis. Peristiwa sejarah berjalan stagnan ibarat sebarisan orang yang sedang berjalan di tempat; bergerak tetapi tidak maju-maju. Jalan di tempat….grak! Kedua, perjalanan hidup manusia yang sebenarnya merupakan kreasi sejarah yang dianugerahkan oleh Tuhan, dianggap sebagai nasib yang mesti diterima dengan sikap fatalistik (nerimo), pasif (berdiam diri; anteng), dan pesimistik (berorientasi ke belakang; masa lalu)

Oleh karena itu pendekatan periodisasi sejarah menurut Kuntowijoyo[5] akan dipakai untuk mengatasi kelemahan itu. Dengan mengacu model sosiologi pengetahuan, ia telah merekonstruksi sejarah orang-orang Islam di Jawa dengan menggunakan pendekatan periodisasi. Periodisasi ini terbagi menjadi tiga fase, yaitu fase mitos, ideologi, dan terakhir fase ide atau ilmu. Pada fase mitos dimulai dari awal mula kedatangan agama Islam sampai berakhirnya tahun 1800-an Masehi dengan ciri-ciri kehidupan religio-mitos. Di sini kehidupan agama, baik menyangkut doktrin, ritus, maupun ide-ide keagamaan masih diselimuti mitos. Ini berarti mitos sesuai dengan tingkat kehidupan orang Jawa pada waktu itu memiliki fungsi yang efektif sebagai cara untuk memperteguh keyakinan religius. Mitos itu dipakai oleh para pemimpin agama untuk menyampaikan ajaran religiusnya yang dikemas dalam bentuk cerita-cerita eksotik sehingga iman para pengikutnya pun bertambah tebal dibuatnya.

Kehidupan agama yang diselimuti mitos biasanya dinampakkan melalui praktik-praktik keagamaan yang irrasional (tidak masuk akal), tetapi memiliki fungsi yang rasional. Keris yang diyakini mampu memadamkan kebakaran rumah, misalnya sebagian orang Jawa mempunyai cara yang tidak masuk akal dalam menghormati dan mensakralkan benda yang terbuat dari besi atau baja itu sebagai barang keramat sampai memandikan dengan air yang ditaburi kembang segala. Tetapi cara-cara memperlakukan keris yang tidak rasional itu ternyata memiliki fungsi yang masuk akal, misalnya sebagai perlambang yang menunjukkan ketinggian status sosial si pemilik di mana komunitasnya memang masih membutuhkan lambang seperti itu dalam mengukur tinggi rendahnya status sosial individu dalam masyarakat, atau sekadar identitas (jatidiri) kultural bagi pemiliknya guna menyesuaikan dengan lingkungan di mana ia bertempat tinggal.

Adapun fase kedua dimulai dari munculnya semangat baru akan tercapainya harapan apa yang disebutnya 'teokratisme yang menolak ciri sekularisme', yang dimulai dari masa-masa menjelang kemerdekaan sampai pertengahan era Orde Baru. Dalam periode ini pula agama berfungsi sebagai ideologi sosial yang bersifat responsif (religio-ideologis). Ini berarti kehidupan agama masih bersifat ideologis karena ia menjadi salah satu faham (isme) yang mengandung seperangkat nilai dokmatik yang terstruktur lewat simbol maupun atribut keagamaan yang terlembagakan. Isme agama ini kemudian digunakan sebagai alat untuk mengatur tindakan dan perilaku keagamaan seseorang dalam mencapai tujuan ideologi yang dicita-citakan dalam setiap propaganda gerakan yang dilakukannya.

Dan fase ketiga dicirikan dari berpalingnya era yang bersifat ideologis ke bentuk praksis; suatu kronologi munculnya spirit keagamaan yang beridentitas urban. Fase ini ditandai dengan penempatan peran agama sebagai agent of progress bagi perkembangan ilmu pengetahuan (religio-akademis). Peran agama telah bergeser dari fungsi mitos dan ideologi ke pemberi spirit bagi kemajuan ilmu pengetahuan itu sendiri. Problematikanya dalam fase ini adalah menjadikan agama tidak hanya sebagai rumusan iman yang didokmakan, melainkan sebagai tradisi keilmuan yang tidak akan final. Terjadi ketegangan akibat pegumulan antara iman dengan ilmu pengetahuan yang tidak jarang menghasilkan perubahan yang menegangkan. Rumusan iman yang bersifat final dan absolut bersitegang dengan rumusan ilmu pengetahuan yang bersifat dinamis dan relatif.

Dengan mengambarkan pada pola keagamaan yang mistis, ideologis, dan syari’at dalam kehidupan orang-orang Islam di Jawa, setidaknya monograf ini akan bermanfaat. Salah satu manfaat yang dapat dipetik ialah dapat memberi gambaran yang utuh bagaimana sejarah perjumpaan antara Islam dan agama-agama berlangsung di tengah hegemoni kebudayaan Jawa yang terus berubah dan akibat yang ditimbulkannya dalam arus pusaran sejarah nasional Indonesia.

Gambaran dari uraian ini diharapkan dapat mencapai sasarannya, dalam arti memberi argumen-argumen yang bersifat historis kritis dalam mencermati katerkaitan anatara agama dengan perubahan sosial-budaya yang dibangun di atas dasar tiga tahapan perubahan sejarah sosial di Jawa. Tiga tahapan perubahan itu --sebagaimana dituturkan oleh Prof. Selo Sumardjan--didahului dari proses integrasi, disintegrasi sampai berakhir ke tahap integrasi baru. Dari harmonisasi lama, konflik sampai munculnya harmonisasi baru. Sebagai sistem sosial yang memiliki daya lentur yang tinggi dalam menghadapi berbagai cuaca dan iklim perubahan, Jawa merupakan suatu kawasan 'ketegangan' yang terus menerus bersifat hegemonik dalam konteks pembentukan kebudayaan Indonesia yang kini tengah berlangsung…. SELAMAT MEMBACA BUKUNYA….



[1] Djumarwan, Relevansi Metodologi antara Ilmu Sejarah dengan Ilmu Ilmu Sosial, dalam Jurnal INFORMASI (Yogyakarta: Yayasan Penerbit FPIPS IKIP Yogyakarta, No.2. Th XXII, 1994) 2.

[2] Ibid.

[3] QS 59 : 18.

[4]Pandangan seperti ini telah mengakibatkan orang-orang Jawa –dan mungkin masyarakat Melayu di Nusantara-- cenderung memiliki pendangan hidup yang berorientasi masa lalu daripada masa depan, atau masa depan itu sama seperti masa lalunya. Hal ini juga disebabkan oleh pandangan tentang waktu yang dekat dengan Hinduisme, walaupun kebanyakan mereka beragama Islam. Bandingkan, Simuh, Sufisme Jawa: Transformasi Tasawuf Islam ke Mistik Jawa (Yogyakarta: Bentang Budaya, 1996), 131.

[5] Kuntowidjoyo, Dinamika Sejarah Umat Islam Indonesia (Yogyakarta: Salahuddin Press, 1994), 29.

WACANA SATU


MEMPERSOALKAN HAKIKAT DAN ASAL-USUL (ILMU) SOSIOLOGI AGAMA

Oleh : Masroer Ch. Jb.

A. Pendahuluan

Melalui sub tema ini akan dijelaskan studi sosiologi agama sebagai ilmu pengetahuan yang memiliki dasar epistemologinya tersendiri yang bertumpu pada kebenaran ilmiah empiris dalam melihat fenomena agama. Karena tujuan sosiologi agama berpusat pada pengkajian interaksi antara agama dan masyarakat sebagai fakta sosial yang bergerak dengan hukum-hukum sosialnya yang bersifat empiris. Maka uraian selanjutnya akan terkait dengan respon dari pertanyaan pokok mengenai bagaimana kedudukan ilmu ini di tengah perkembangan ilmu pengetahuan kontemporer? Apakah berdiri sendiri secara otonom atau studi sosiologi agama berjalin kelindan (terkoneksi) dengan ilmu pengetahuan lain sehingga membentuk the body of knowledge tersendiri?

B. Hakikat dan Asal Usul

Untuk merespon pertanyaan pokok tersebut dapat ditelusuri dari adanya silang pandangan sejumlah pakar yang menempatkan kedudukan sosiologi agama sebagai ilmu pengetahuan terkait erat dengan tiga disiplin ilmu pengetahuan yang berkembang saat ini, khususnya di lingkungan perguruan tinggi Islam (UIN), yaitu 1) pandangan yang menempatkan sosiologi agama sebagai bagian dari ilmu-ilmu keislaman (Islamic studies), 2) pandangan yang menempatkan sosiologi agama sebagai bagian dari ilmu-ilmu agama (religious studies), dan 3 pandangan yang menempatkan sosiologi agama sebagai bagian dari studi sosiologi atau ilmu sosial (social science). Dengan menggabungkan tradisi keilmuan yang tumbuh dari warisan Dunia Islam di masa lampau dan perkembangannya di Dunia Barat saat ini, ketiga disiplin ilmu pengetahuan itu akan diuraikan secara umum untuk memperoleh kepastian simpulan dari persoalan mengenai bagaimana perkembangan sosiologi agama sebagai ilmu pengetahuan bergelut dengan sejarahnya sendiri, dan sejauhmana interaksi epistemologinya dengan ilmu pengetahuan lain.

Dalam sejarah ilmu di Dunia Barat, sosiologi agama merupakan cabang dari ilmu-ilmu sosial (sosiologi) yang lahir sesudah perkembangan ilmu pengetahuan alam. Oleh karena itu pendekatan yang digunakan untuk pertama kalinya dalam studi ini adalah empirisme (positivistik).[1] Pendekatan empirisme ini, apabila dilihat dari perkembangan sejarah ilmu diambil dari pendekatan yang digunakan dalam ilmu pengetahuan alam, yaitu ilmu fisika di mana masyarakat diamati sebagaimana mengamati benda-benda alam yang dapat dketahui proses, struktur dan perubahan-perubahan konstannya di sepanjang masa, sehingga kemudian menghasilkan teori-teori atau hukum-hukum sosial yang tetap, seperti hukum gravitasi.

Oleh karena itu studi sosiologi untuk pertama kalinya disebut oleh Auguste Comte (1798-1857) sebagai ilmu fisika sosial. Sehingga, tidak heran jika pada masa awalnya, masyarakat dengan segenap keyakinannya dilihat sebagai sebuah struktur (wujud) benda-benda alam yang memiliki fungsi dan proses pergerakannya yang bersifat mekanistik (hukum kausalitas) dan generalisasi. Bahkan, pengaruh ilmu pengetahuan alam, terutama juga dari ilmu biologi (evolusioner) memunculkan kesimpulan lain bahwa masyarakat dengan segenap keyakinannya itu dilihat sebagai organisme sosial seperti organisme makhluk hidup yang memiliki ciri-ciri fisik, fungsi, proses jaringan organismenya yang bekerja secara tersistem, seperti yang dikemukakan oleh Herbert Spencer (1820-1903) dan kemudian dikembangkan oleh Talcott Parsons dan Robert K. Merton dengan pendekatan sosiologi fungsionalisme strukturalnya. Dari sini kita dapat menyimpulkan karakteristik awal sosiologi agama sebagai ilmu pengetahuan sosial terletak pada pendekatan empirisme yang digunakannya dalam menerangkan hubungan agama dan masyarakat sebagai fakta sosial yang bersifat mekanistik (hukum sebab akibat), sebagaimana kebenaran ilmu yang diperoleh dari ilmu pengetahuan alam.

Di Dunia Islam, sosiologi agama sebagai sutau pendekatan ilmu pengetahuan Islam (dirasah Islamiyah), sebenarnya telah dirintis oleh Abdurrahman Ibnu Khaldun (1334-1406) dalam bukunya Muqaddimah. Ia telah menganalisis secara empiris sebab-sebab atau hukum-hukum sejarah sosial keruntuhan sebuah peradaban yang dibangun masyarakat Islam masa lampau, khususnya di Spanyol dan Afrika utara. Ia juga menjelaskan ciri-ciri masyarakat pedesaan (nomaden), masyarakat perkotaan (menetap), masyarakat industri (pertukangan) masyarakat politik (khilafah). Begitu pula Ibnu Jarir al-Thabari dalam bukunya, Tarikh al-Umam wa al-Muluk yang mendeskripsikan secara empiris perkembangan sejarah masyarakat dan kepemimpinan Islam di masa lampau.

Dalam konteks Islam di Indonesia, cikap bakal sosiologi sebagai ilmu pengetahuan empiris telah diterapkan dalam kajian Islamic Studies, di mana Islam dipelajari dalam perspektif empririsme. Karena itu Prof. Amin Abdullah telah memetakan pendekatan studi Islam yang digunakan di perguruan tinggi Islam selama ini terbagi dalam dua ranah, yaitu historis (empiris) dan normatif (doktriner). Di wilayah empiris-historis inilah ilmu-ilmu keislaman menemukan pendekatannya yang baru, seperti ilmu tafsir dengan asbabun nuzulnya, ilmu hadits dengan asbabul wurudnya, fikih, dan lain-lain.

Oleh karena itu karakteristik sosiologi agama sebagai bagian dari studi Islam terletak pada bagaimana mempelajari secara empiris, yakni agama Islam sebagai obyek kajian utama studi Islam yang diletakkan tidak semata-mata dalam pengertian doktrinal, melainkan fakta empirisnya.

Dari sinilah studi sosiologi agama sebagai bagian dari studi Islam menemukan ralevansi etis dan epistemologisnya untuk dipakai menganalisis dan memecahkan problem-problem sosial yang dihadapi umat Islam ketika dikaitkan dengan ajaran agamanya (normatif), sehingga menghasilkan pemecahan masalah yang tidak berpola doktriner un sich. Pendekatan empiris atau historis seperti inilah yang akan menjadikan studi Islam berwajah humanistik; karena kebenaran dari pernyataan yang diwahyukan dalam kitab suci itu dikontekstualisasikan pelaksanaannya di lapangan berdasarkan karakteristik manusia pemeluknya yang berbeda-beda. Begitu pula dalam ilmu tafsir, untuk memahami sebuah ayat al-Qur’an, kita tidak dapat langsung memahami artinya secara utuh jika kita hanya bersandar pada pemahaman arti teksnya. Untuk itu diperlukan kontekstualisasinya dengan memakai pendekatan empiris, khususnya dalam ilmu asbabun nuzul. Dari asbabun nuzul yang bersifat empiris inilah, akan dapat diketahui latar belakang sosial dan sejarah, mengapa suatu ayat al-Qur’an diturunkan oleh Allah dan bagaimana relevansinya dengan dunia kekinian.

Dalam konteks sosiologi agama sebagai bagian dari studi agama (agama) dapat diketahui dari rintisan Prof. Mukti Ali ketika mendirikan Jurusan Perbandingan Agama di Fakultas Ushuluddin UIN Sunan Kalijaga. Di jurusan ini, pengembangan keilmuan sosiologi agama diterapkan sebagai salah satu pendekatan dalam studi agama, selain pendekatan antropologi dan psikologi. Dalam perspektif ini, interaksi agama dan masyarakat dipelajari dalam konteks penggabungan studi agama dan studi sosiologi yang secara struktural kedudukan ilmu sosiologi menjadi alat bantu (ilmu alat), bahkan melebur (berintegrasi) ke dalam studi agama yang dapat dimanfaatkan untuk mempelajari fenomena agama (agama). Dengan paradigma saintific cum doctrinair-nya, Prof. Mukti Ali mencoba memadukan hubungan antara fakta-fakta sosial agama yang bersifat empiris dengan ajaran agama yang kemudian dipakai untuk mengukuhkan doktrin kepercayaan suatu agama. Jadi posisi studi sosiologi agama di sini hanya menjadi ilmu alat yang digunakan untuk mengembangkan studi agama sekaligus mengabdi bagi kepentingan doktrin agama, sehingga agama tidak sekedar dipahami sebagai realitas faktual murni yang netral (baca: bebas) dari pretensi nilai-nilai religius dan keimanan.

C. Perkembangan

Namun dalam perkembangan epsitemologinya, munculnya banyak pendekatan pada studi sosiologi agama mendorong ilmu ini bergeser menjadi ilmu yang berusaha berdiri sendiri, bahkan telah berkembang menjadi nama program studi atau jurusan di berbagai perguruan tinggi. Kini perkembangan studi sosiologi agama, agaknya terus bergerak mengikuti perkembangan studi sosiologi. Karena memang sejak awalnya, studi sosiologi agama lahir bersamaan dengan kemunculan studi sosiologi. Untuk itu pendekatan yang dipakai dalam studi sosiologi agama juga tidak berbeda dengan pendekatan studi sosiologi (umum).

Dapat dikatakan hampir semua tokoh studi sosiologi (klasik) pada awal menemukan teorinya juga tidak terlepas dari persoalan agama yang digumulinya, seperti Auguste Comte (1798-1857), Karl Marx (1818-1884), Herbert Spencer (1820-1903), Emile Durkheim (1858-1917), George Simmel (1858-1918), Max Weber (1864-1920) dan juga tokoh sosiologi yang datang sesudahnya, seperti Peter L. Berger, Robert N. Bellah, Antonio Gramsci, dan lain-lain. Bisa jadi hal ini karena sosiolog-sosiolog kaliber itu memang lahir dari rahim agama (gereja), meskipun diantara mereka kemudian ada yang berpikir positif, ada pula yang berpikir negatif tentang agama yang menjadi analisis sosialnya.

Bahkan dalam perkembangan yang mutkahir, studi sosiologi agama selain mengkoneksikan dengan cabang ilmu-ilmu sosial lain, seperti politik dan ekonomi, juga telah memanfaatkan pendekatan yang dipakai dalam ilmu-ilmu humaniora, seperti psikologi, ilmu budaya, serta ilmu-ilmu alam, seperti statistika sosial, sosiometri dan lain-lain. Oleh karena itu di satu sisi, ketika studi sosiologi agama menjadi ilmu pengetahuan yang otonom menjadi jurusan atau program studi, ia memang harus membangun karakteristik epistemologi dan metodologinya tersendiri (the body of knowledge). Namun di sisi lain untuk mengembangkan metodologi dan epistemoginya itu bagaimana pun juga ia membutuhkan bantuan ilmu-ilmu lain, seperti psikologi, politik dan antropologi, bahkan ilmu-ilmu alam.

D. Ranah Kajian Ilmu

Menurut Haidar Nashir sebagaimana mengutip pendapat Robert N. Bellah, ranah kajian sosiologi agama mencakup tiga aspek, yaitu 1) mengkaji agama sebagai persoalan teoritis, terutama dalam memahami tindakan sosial, 2) menelaah hubungan antara agama dan berbagai bidang kehidupan sosial lain, seperti ekonomi, politik, kelas sosial, dan 3) mempelajari peran organisasi dan gerakan-gerakan sosial keagamaan.

Dari penjelasan di atas dapat diketahui bahwa ranah kajian sosiologi agama di era kontemporer ini mencakup tiga hal, yaitu pertama, pengembangkan secara teoritis studi sosiologi agama, terutama dalam memahami tindakan sosial individu dan masyarakat dalam beragama. Tindakan sosial di sini menyangkut pengembangan secara teoritis motif-motif dari tindakan sosial, proses atau interaksi dari tindakan sosial maupun implikasi yang ditimbulkan dari tindakan sosial. Dari ranah kajian ini, studi sosiologi agama diharapkan akan mengalami perkembangan teoritis dan metodologisnya yang dinamis dan inovatif.

Kedua, mengkaji hubungan agama dengan berbagai kehidupan masyarakat yang sangat luas, seperti hubungan agama dengan kehidupan politik. Dari kajian ini akan diketahui sejauhmana hubungan agama dengan politik itu terintegrasi atau terindependensi dalam kehidupan sosial masyarakat. Begitu pula hubungan agama dengan ekonomi, apakah agama mempengaruhi kehidupan ekonomi suatu masyarakat atau tidak, atau apakah agama mempengaruhi tingkat kemiskinan masyarakat atau tidak. Begitu juga hubungan agama dengan budaya, akan diketahui sejauhmana kebudayaan di masyarakat tertentu dipengaruhi oleh agama atau malah sebaliknya. Atau juga hubungan agama dengan persoalan seksual; apakah agama mempengaruhi perilaku dan interaksi seksual masyarakat atau malah sebaliknya, sehingga dari ranah ini akan menghasilkan kesimpulan-kesimpulan analisis dan hasil riset yang menarik dan aktual.

Ketiga, mengkaji peran organisasi dan gerakan keagamaan dalam masyarakat. Pada wilayah kajian ini akan diketahui ketika agama diinstitusionalisasikan oleh masyarakat; apakah, bagaimanakah dan sejauhmanakah institusionalisasi dalam bentuk organisasi-organisasi sosial keagamaan (ormas keagamaan) dan gerakan-gerakan keagamaan, baik yang berbasis politik maupun kemasyarakatan berperan dalam membangun kehidupan sosial (social contruction) atau malah sebaliknya mendestruksi tatanan sosial (social order), seperti kajian tentang fundamentalisme, radikalisme, globalisasi, konflik sosial, transformasi sosial dan social empowering dari agama sebagai institusi yang menyejarah dan mengambil peranan dalam kehidupan sosial.

Sedangkan dalam kontek Indonesia, wilayah kajian sosialogi agama dapat dibagi menjadi empat ranah kajian, yaitu, pertama, perlu dikaji berbagai macam fenomena “world-view” para pemeluk agama, yang mempengaruhi dan menjadi basis bagi tindakan-tindakan sosial mereka, yang berada dalam struktur sosial masyarakat majemuk. Sebagai catatan khusus, para peneliti agama dari UIN perlu juga mengkaji “alam pikiran keagamaan” atau pandangan-dunia kalangan agama lain, termasuk adanya kecenderungan “radikalisme” di sebagian tubuh kelompok ini, sehingga dapat mengetahui sekaligus memperkaya pemahaman mengenai alam pikiran para pemeluk agama di luar pemeluk mayoritas (muslim) di negeri yang majemuk ini. Kedua, perlu pula dikaji berbagai aspek relasional antara agama dan bidang kehidupan masyarakat, seperti politik, ekonomi, pendidikan, kesehatan, kesejahteraan, sosial budaya, dan lain-lain. Ketiga, kajian yang menyangkut relasi sosial antar dan inter kelompok agama di Indonesia, baik yang bercorak konflik maupun integrasi dengan berbagai aspek faktual lain. Keempat, kajian yang berkaitan dengan gerakan-gerakan dan organisasi-organsisasi keagamaan, yang cukup marak dan dinamik dalam kehidupan masyarakat Indonesia pada kurun terakhir.

Jadi dalam konteks keindonesiaan, ranah kajian sosiologi agama bertumpu pada isu-isu dan persoalan-persoalan sosial keagamaan kontemporer yang terjadi di tanah Air, yaitu pertama, kajian mengenai pandangan dunia keagamaan yang mempengaruhi tindakan sosial kelompok-kelompok keagamaan, sehingga akan memudahkan melakukan analisis atas munculnya komunitas-komuniats atau kelompok baru keagamaan di Indonesia, seperti gerakan-gerakan liberal, radikal dan militan dan New Age. Kedua, kajian mengenai interaksi agama dengan berbagai aspek kehidupan masyarakat, seperti gender, politik, ekonomi, kemiskinan, budaya, dan problem-problem sosial lain. Ketiga, kajian terhadap konflik dan integrasi antar kelompok-kelompok keagamaan baik secara internal (di dalam kelompok) maupun eksternal (antar kelompok), seperti konflik Gereja Katolik dan Gereja Protestan, konflik internal organisasi-organisasi agama Buddha, integrasi santri dan abangan, dan lain-lain.

E. Aneka Teori Sosiologi Agama

Penjelasan tentang teori sosiologi agama bermuara pada perdebatan di seputar pertanyaan apa definisi atau pengertian dari agama itu sendiri ketika dikaitkan dalam kehidupan bermasyarakat? Suatu definisi sebenarnya memiliki kecenderungan dan sifat yang tidak dapat dikatakan “benar” atau “salah”, melainkan hanya dapat dilihat dari sisi bermanfaat atau tidak bermanfaatnya bagi perkembangan teori-teori ilmu pengetahuan, dan aplikasinya dalam kehidupan sosial-kemanusiaan. Oleh karena itu semua tokoh sosiologi agama dalam merumuskan teori selalu berhenti pada persoalan definisi agama ketika agama itu ditempatkan sebagai fenomena sosial yang bersifat empiris. Untuk itu dalam sub tema ini akan diuraikan secara garis besar teori-teori yang dirumuskan oleh para tokoh sosiologi agama berdasarkan kerangka pemikiran di atas, seraya menyertakan perkembangan teori-teori sosial yang berkembang dewasa ini dalam mengkaji masalah agama ketika berinteraksi dengan masyarakat manusia.

1. Agama Sebagai Perekat Sosial

Teori yang lahir dari pendekatan fungsionalisme empirik ini menghasilkan kesimpulan definitif bahwa agama berperan sebagai perekat sosial dalam masyarakat. Tokoh yang mengemukakan teori integrasi sosial agama ini adalah Emile Durkheim yang menghasilkan karya besar di bidang sosiologi agama dengan judul bukunya yang diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris; The Elementary Forms of Religious Life (bentuk-bentuk dasar kehidupan keagamaan). Menurut Durkheim yang tertarik dengan unsur-unsur solidaritas masyarakat, mengungkapkan bahwa agama memiliki fungsi sosial. Agama bukan ilusi, melainkan merupakan fakta sosial yang dapat diidentifikasi dan mempunyai kepentingan sosial. Oleh karena itu agama sebenarnya tidak berisi kepercayaan pada roh-roh atau dewa-dewa, akan tetapi agama didirikan di atas perbedaan kategoris antara dunia sakral yang berhadapan dengan dunia profan dalam dunia sosial. Ini artinya setiap agama akan selalu ditandai oleh dikotomi antara yang sakral (suci) dengan yang profan (duniawi). Untuk itu keyakinan dan ritus-ritus religius merupakan “fakta-fakta sosial”, sebab keberadaan keyakinan dan ritus tersebut benar-benar bersifat individual, bersifat eksternal bagi individu dan mempengaruhi cara berpikir dan berperilaku individu dalam mengintegrasikan diri dalam dunia sosial. Dengan demikian agama merupakan sumber keteraturan sosial dan moral, mengikat anggota masyarakat dalam suatu proyeksi sosial bersama; sekumpulan nilai dan tujuan bersama yang bersifat sakral dan mengikat, sehingga membentuk solidaritas sosial.

Dalam konteks solidaritas sosial tersebut, bagi Durkheim agama berperani menjembatani ketegangan, menjaga kelangsungan masyarakat ketika dihadapkan pada tantangan yang mengancam kelangsungan hidupnya baik yang datang dari kelompok lain, orang-orang yang menyimpang (anomi sosial) dari kelompok sendiri, maupun dari bencana alam. Di sini peran pokok agama adalah menyatukan anggota masyarakat melalui deskripsi simbolik suci mengenai kedudukan mereka dalam kosmos, sejarah, dan tujuan mereka dalam keteraturan segala sesuatu. Dalam konteks masyarakat modern (Perancis) dimana ia lahir dan dibesarkan, Durkheim menganalisis diperlukannya akan ritual-ritual dan simbol baru yang dapat menghadirkan solidaritas sosial berdasar ide Repubikanisme Perancis, sebagaimana masyarakat primitif (suku Aborigin) yang membutuhkan simbol-simbol dan ritual totemisme.

2. Agama sebagai Motif dalam Tindakan Sosial

Dengan pendekatan empiris interpretatif (verstehende), Max Weber telah mengambil kesimpulan bahwa antara agama (doktrin) memiliki korelasi positif dengan tindakan sosial individu dalam masyarakat. Ini artinya agama berfungsi menjadi motif sosial individu dalam berinteraksi sosial. Jadi untuk memahami secara psikososial bagaimana motif individu dalam berinteraksi sosial di masyarakat, terutama dengan aktivitas ekonominya, maka analisis interpretatif diperlukan untuk menyelami dan menghayati sejauhmana kondisi dunia batin dan pikiran (soul and mind) individu yang dipengaruhi oleh agama (sosio-budaya) itu ketika secara lahiriah diekspresikan dalam menggerakkan tindakan sosial dalam menghadapi dunia sosialnya.

Pada riset studi kasusnya di Gereja Calvin dalam hubungannya dengan kemunculan kapitalisme, dan kemudian telah diterbitkan menjadi buku berjudul; The Protestan Ethics and The Spirit of Capitalism, Weber melihat secara teoritis bahwa sumber asketisme yang lahir dari kegelisahan terhadap doktrin takdir ganda dalam Gereja Calvinis di kalangan orang-orang Protestan mendorong etos duniawi yang kuat. Karena itu orang dapat memperoleh keselamatan atau celaka dari Tuhan tergantung dari kasih Tuhan yang diwujudkan tidak dalam bentuk doa atau sakramen gereja, melainkan kerja individu itu sendiri di dunia yang “seolah-olah’”ia memperoleh keselamatan dengan penguatan karakter moral (asketisme) yang ditunjukkan dari aktivitas keduniaan ini. Jadi asketisme individu (keshalehan) inilah yang mendorong tindakan sosialnya (kerja keras) untuk memperoleh kasih sayang Tuhan (keselamatan) di dunia dan akhirat, sehingga menghasilkan dampak kapitalisme. Oleh karena itu, bagi Weber tindakan sosial yang lahir dari orientasi individu yang mistik maupun individu yang utilitarian tidak akan menghasilkan tindakan sosial yang mampu menghadapi dunia (yang tidak shaleh) ini.

3. Agama Sebagai Sumber Keterasingan & Legitimasi Sosial

Dengam pendekatan strukturalisme yang bersifat materialistik, Karl Marx mencoba melihat peran agama secara negatif. Bagi Marx agama merupakan sumber keterasingan masyarakat dari dunia sosialnya. Di sini Marx mengungkapkan bahwa keterasingan manusia dalam riuh barang-barang komoditias sebagai analogi bagi keterasingan manusia dalam hubungan dengan kekuatan supranatural (agama). Oleh karena itu, agama dengan kekuatan supranaturalnya membuat manusia kehilangan kesadaran duniawinya, sehingga ia teralienasi dari dunia sosialnya yang bersifat material. Keterasingan di sini diartikan sebagai proses yang melewati hubungan-hubungan dialektis antar individu dengan dunia sosialnya yang hilang dari kesadaran (kritis).

Selain itu, Marx juga menyimpulkan fungsi agama sebagai sumber legitimasi bagi kelas sosial tertentu terhadap kelas sosial lain yang dikuasainya. Marx sebagaimana Durkheim juga melihat agama sebagai produk sosial dan sebagai agen keteraturan sosial pada masyarakat pramodern. Menurutnya fungsi utama agama dalam menghasilkan keteraturan sosial bukan terletak pada komitmennya untuk membangun proyeksi sosial bersama, tetapi lebih merupakan pembenaran (ligitimasi) atas aturan ketidakadilan dari kaum feodal kepada kaum petani, atau dari kapitalis terhadap kelas pekerja dalam masyarakat modern. Oleh karena itu agama (gereja) berfungsi sebagai tirai asap kolektif (katup pengaman) yang justru telah mengaburkan watak sebenarnya dari segala sesuatu yang dapat dilihat oleh mata pikiran masyarakat (kesadaran kritis), mengacaukan sumber dan realitas ketertindasan mereka yang diatur, dan juga berfungsi sebagai agen keteraturan sosial yang ditentukan secara ketuhanan (religius). Ini membuat agama kemudian berubah menjadi candu yang membius masyarakat dalam suasana ketertindasan mereka akibat kehilangan kesadaran sosialnya. Agama kemudian hanya menjanjikan pahala dalam kehidupan di akhirat (mistifikasi), akibat proses alienasi dan lenyapnyan kesadaran yang diciptakannya sendiri oleh agama yang dikuasai kaum elit dan pemegang otoritas gereja.

4. Agama Sebagai Konstruksi Sosial

Dengan pendekatan dialektika internalisasi, ekternalisasi dan obyektivikasi dalam melihat fakta sosial agama, Peter L. Berger telah mengambil kesimpulan bahwa agama berperan dalam mengkonstruksi dunia sosial (social construction). Ini artinya agama tidak semata-mata berfungsi sebagai pemelihara dunia, akan tepai justru yang lebih penting adalah sebagai pembangun dunia. Dalam analisis teoritisnya, Beger melihat agama yang datang dari langit suci (wahyu) ketika berada dalam dunia sosial menjadi sekumpulan makna, nilai-nilai dan pandangan dunia (world view) transenden yang berproses (berubah) dan dimiliki oleh individu ketika berinteraksi sosial dengan dunianya yang sekuler. Jadi dunia sosial itu dibangun dari proses internalisasi dimana inidividu menerima dan menghayati nilai-nilai dan makna suci dari wahyu (agama) yang kemudian dieksternalisasikan (ditransformasikan) nilai-nilai dan makna itu ke dalam kesadaran dunia sosial. Bentuk interaksi sosial individu semacam ini kemudian menghasilkan proses obyektivikasi (makna universal) yang terus menerus oleh karena adanya kesadaran proses internalisasi dan eksternalisasi yang terobyektivasikasikan tersebut bergerak mengikuti hukum-hukum dialektika sosial. Jadi gampangnya, agama (nilai-nilai transendensi) itu merupakan proses yang belum final, bukan hasil yang langsung dapat dicerna, karena perannya sebagai pembangun dunia sosial individu dalam bermasyarakat yang terus berubah dan menyejarah.

Dari perspektif dialektika eksternalisasi, internalisasi dan obyektivikasi yang cenderung melihat fakta lebih fenomenologis seperti itu, Berger telah mengambil kesimpulan teoritis bahwa peran agama tidak semata-mata sebagai pemelihara dunia (world maintenance) tetapi sekaligus sebagai pembangun dunia (social construction). Oleh karena itu, agama adalah usaha manusia yang dengannya dunia kosmos suci dibangun, ia melabelkan kekuatan keramat (sacred) pada obyek-obyek dan makna-makna yang dengannya manusia membangun dunia sosial dan model-model kosmos. Ini terjadi karena agama merepresentasikan proyek manusia di pusat dunia dan untuk memberikan kebermaknaan manusia dalam seluruh kosmos dan budayanya. Dalam masyarakat yang tercipta dari konstruksi sosial, individu beragama membangun (eksternalisasi) proses dan struktur yang ekstensif yang dengannya individu diinternalisasikan dalam pola-pola dan perilaku yang telah ditentukan (diobyektivikasikan). Dari sini, agama kemudian tidak hanya membangun makna dan dunia sosial yang keramat, melainkan menjadi sarana legitimasi bagi keteraturan dunia sosial. Dunia sosial dalam konteks ini diartikan --sebagaimana ungkapan Karl Mannheim-- adalah ideologi, yakni sekumpulan pengetahuan yang diobyektivikasikan secara sosial yang menjelaskan dan menjustifikasi dunia sosial. Bentuk dominan pengetahuan ini dalam masyarakat posmodern bukan religius tetapi ilmu pengetahuan. Namun justru agama berperan menentukan dalam memberikan status ontologis, ia memberi kebermaknaan sakral atas ilmu pengetahuan itu sendiri yang sebenarnya tidak memiliki status ontologis yang kokoh.

5. Agama Sebagai Simbol Masyarakat Sipil

Sebagai simbol perekat masyarakat sipil yang kemudian melahirkan teori agama sipil (civil religion), Robert N. Bellah menganalisis pentingnya peran agama menjadi kekuatan integratif dalam masyarakart modern yang kehilangan nilai-nilai agama yang menggereja (institusi). Dasar teoritis ini lahir dari pendekatan evolusi sosial Bellah mengenai agama dalam kehidupan masyarakat modern, khususnya terhadap gerakan keagamaan di Amerika Serikat. Menurut Bellah yang sehaluan dengan pemikiran Durkhemian, dalam konteks sejarah sosialnya, agama mengalami perkembangan fase evolusi masyarakat dari fase primitif, arkaik, historis, pra-modern, sampai munculnya fase modern yang melahirkan gagasan agama sipil (civil religion). Sementara fase historis didefinisikan sebagai agama yang dianut oleh masyarakat yang telah melek huruf yang menerima kitab suci dan bersifat transeden, seperti Islam, Hindu, Buddha, Kekristenan dan Judaisme.

Dalam masyarakat modern di Amerika, munculnya gerakan-gerakan keagamaan revivalistik yang marak bukan lahir karena motif penolakan terhadap dunia melainkan berusaha menyesuaikan agama dalam kehidupan modern. Bagi Bellah tindakan sosial agama dalam kehidupan modern merupakan kesinambungan dari kecenderungan yang sudah ada dalam masyarakat pramodern, tetapi masyarakat modern tidak lagi menyandarkan pada gereja (institusi agama) untuk mencari makna yang suci dalam kehidupannya. Dengan merosotnya ortodoksi doktrin dan sistem obyektif pedoman moral yang didukung agama (gereja), tindakan agama di dunia modern lebih menuntut untuk mencari nilai kemantapan individual dan relevansi sosial. Dalam konteks tersebut implikasi sosial yang utama dari situasi modern ini melahirkan self revising social system dalam mewujudkan masyarakat yang demokratis.

Oleh karena itu bagi Bellah, pada corak kehidupan masyarakat modern yang interaksi sosialnya dibangun melalui subsistem jaringan dan transformasi nilai, persoalan agama dan politik (demokrasi) tidak dapat saling diabaikan. Ini terjadi karena kepercayaan agama dan kekuasaan politik dalam sejarahnya yang lama selalu mengambil jarak dan menciptakan trouble. Negara yang memiliki kekuasaan politik dipandang sebagai sarana bagi aktivitas masyarakat yang berhubungan dengan sesuatu yang paling tinggi (ultimate thing) yang kehadirannya mampu membuat keputusan hidup dan mati masyarakat itu sendiri. Sementara agama yang berasal dari kekuasaan yang melebihi kekuasaan di seluruh dunia ini seringkali secara potensial menciptakan wilayah konflik dengan negara. Wilayah yang secara potensial menimbulkan konflik antara agama dan negara itu terkait dengan masalah legitimasi yang mencakup apakah persoalan kekuasaan politik yang ada itu bermoral dan benar maknanya, atau bahkan persoalan politik itu menggangu kewajiban-kewajiban agama (gereja) yang lebih asasi.[2] Dari sinilah kemudian peran agama sipil dibutuhkan oleh masyarakat untuk mencari legitimasi bersama bagaimana makna-makna agama (kesucian) pada kehidupan demokratis akan ditemukan dalam ritual dan simbol-simbolnya yang baru dan rasional dalam rangka mengintegrasikannya.

Ini artinya dalam perspektif kemunculan agama sipil yang berfungsi mengintegrasikan tatanan sosial ini, Bellah menganalisis bahwa dalam masyarakat modern yang demokratis, fungsi agama kemudian terpetakan menjadi dua, yaitu fungsi publik dan privat. Ini artinya, fungsi nilai-nilai yang bersifat privat dan publik agama sangat dibutuhkan karena adanya suatu kevakuman moral dalam kehidupan sipil dan sosial masyarakat Amerika Serikat yang serba teknis dan birokratis. Dan ternyata kevakuman moral ini menurut kesimpulan Bellah hanya dapat dipenuhi dengan memperbaharui peran publik dan sipil agama dalam kehidupan masyarakat…...



[1] Pengetahuan ilmiah empiris atau positivistik dedifinisikan sama dengan pengetahuan yang kebenarannya didasarkan pada realitas fakta atau gejala yang teramati. Karena itu fakta harus bebas nilai, ia berbeda dengan pernyataan nilai. Menurut Auguste Comte, suatu pernyataan nilai tidak pernah dapat dibuktikan secara ilmiah, karena itu pengetahuan empiris ilmiah harus bebas dari pernyataan-pernyataan nilai (teologi dan metafisika) sebagaimana dalam ilmu pengetahuan eksakta yang mengamati gejala-gejala alam sebagai benda mati. Bdk. Syamsuddin Abdullah, Agama dan Masyarakat Pendekatan Sosiologi Agama (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997), hlm., 13-14.

[2] Masroer, Transformasi Ketuhanan Yang Maha Esa (Tawhid) dalam Agama-Agama Historis dan Kemungkinan Munculnya Agama Sipil di Indonesia, Jurnal Esensia, Vol. 7, No. 2, Juli 2006, hlm 229.