MEMBANGUN KEMBALI DEMOKRASI YANG BERKARAKTER NASIONAL


Oleh : Masroer Ch Jb.#

Reformasi yang digulirkan sejak tahun 1998 telah memberikan angin segar bagi kehidupan demokrasi di tanah air. Kehidupan berdemokrasi ini ditandai dari semakin luasnya partisipasi politik masyarakat dalam bentuk diantaranya pertumbuhan partai-partai politik yang pesat. Dalam Pemilu tahun 2004 dan 2009 yang digelar beberapa tahun yang lalu menjadi bukti nyata betapa kehidupan demokrasi dapat menemukan lahannya yang subur di tanah air, seperti dengan kehadiran puluhan partai politik yang menjadi peserta Pemilu tersebut. Pemilihan presiden, gubernur, dan kepala daerah tingkat II, bahkan anggota parlemen yang dilakukan secara langsung menunjukkan bahwa partai politik yang selama ini menjadi wadah atau media aspirasi masyarakat memiliki peran yang besar bagi pertumbuhan demokrasi di Indonesia. Ini artinya, pemerintahan yang didirikan melalui hasil Pemilu memang terasa mencerminkan bahwa kekuasaan yang lahir itu diberikan dan dilegitimasi langsung oleh masyarakat.

Dengan demikian pada era reformasi demokrasi ini, masyarakat –dengan kebebasannya-, baik orang perorang maupun kelompok dapat serta merta mendirikan partai politik di setiap Pemilu digelar. Partai-partai politik yang berlomba dalam Pemilu kemudian melibatkan begitu banyak masyarakat. Mereka bersaing keras mencari dukungan terbanyak dari masyarakat, yang tidak jarang menimbulkan konflik sosial yang berujung pada tindak kekerasan. Di setiap Pilkada, misalnya masing-masing orang yang menjadi calon unggulannya berkampanye dengan melibatkan begitu banyak massa akar rumput; dengan berbagai bendera dan yel-yel yang diteriakkan; dengan pola komunalisme yang tidak jarang mengakibatkan munculnya kebringasan sosial yang mengkhawatirkan kita semua. Padahal, pertumbuhan demokrasi yang disertai dengan tindak kekerasan seperti itu hanya akan menciptakan demokrasi yang berwatak liberal dalam arti kebebasan berpolitik menjadi bersifat liar dan anarkhi. Hal ini bisa jadi karena demokrasi masih berkutat pada persoalan mekanisme politik yang diatur berdasarkan tata tertib administrasi yang tidak menyentuh nilai-nilai dan kultur demokrasi itu sendiri. 

Dari demokrasi yang bersifat liberal dengan kebebasan mendirikan partai politik dan berekpresi itu, kemudian mengalami pergeseran ke menguatnya demokrasi prosedural, dimana kehidupan demokrasi hanya bertumpu pada syarat-syarat administratif yang bersifat konstitutif. Memang demokrasi model ini ada baiknya juga, akan tetapi ia menjadi bias jika tidak disertai dengan tumbuhnya nilai-nilai demokrasi yang menjunjung tinggi semangat kemanusiaan dan penguatan peradaban nasional. Oleh karena itulah untuk membangun demokrasi yang berbasis pada karakter nasional itu, kita hendaknya dapat menumbuhkembangkan nilai-nilai demokrasi itu sendiri, yakni prinsip bermusyawarah, keadilan, persamaan, menghargai perbedaan pendapat, toleransi, dan tetap dalam semangat menjaga kecintaan terhadap tanah air.

Dengan nilai-nilai demokrasi yang seperti itu diharapkan kepemimpinan yang lahir dalam kehidupan demokrasi akan mampu menegakkan empat pilar kebangsaan, yaitu Pancasila, UUD 1945, Bhineka Tunggal Ika, dan NKRI. Ini artinya kepemimpinan yang lahir dalam kehidupan demokrasi yang bertumpu pada penguatan karakteristik nilai-nilai nasional itu tidak akan lagi menciptakan figur kepemimpinan yang bersifat primordial, dan sektarian  yang bertentangan dengan empat pilar kebangsaan kita itu. Wallahu A’lamu.
----------------------------

#Disampaikan dalam Seminar Sehari; Menguak Geneologi Kekerasan dan Posisi Empat Pilar Kebangsaan Di tengah Arus Kebebasan, Forum Pemuda Cinta Tanah Air bekerjasama dengan Kementrian Dalam Negeri RI - Yogyakarta, 13 Desember 2011.

PUASA BULAN PERBANYAK SEDEKAH



Oleh : Masroer Ch Jb.@

Allah Subhanahu wata’ala berfirman dalam surat al-Baqarah ayat ke-271, yang artinya kurang lebih adalah; Jika kamu menampakkan sedekah-sedekahmu itu amal yg baik, namun jika kamu menyembunyikannya & memberikannya kepada kaum fakir miskin, itu amal yang lebih baik lagi bagimu, dan Allah akan menghapus sebagian kesalahan-kesalahanmu, sebab Allah Maha teliti terhadap apa yang kamu lakukan. Dari ayat ini memberi penjelasan kepada kita bahwa sebagai orang yang dikaruniai kelebihan harta benda, Allah Swt menganjurkan kepada hamba-hamba-Nya untuk bersedekah, yakni memberikan sebagian kekayaan yang kita miliki kepada kelompok-kelompok sosial yang berhak, seperti kepada anak-anak yatim piatu di panti asuhan, anak-anak yang tidak mampu di pondok pesantren, anak-anak jalanan dan gelandangan di pinggir jalan, keluarga yang kurang mampu, dan seterusnya. 
Dalam ayat ini pula juga dijelaskan bahwa sedekah dengan terang-terangan juga memiliki nilai yang baik di mata Allah, akan tetapi akan menjadi lebih baik lagi jika sedekah kita dilakukan secara sembunyi-sembunyi, sehingga orang lain tidak tahu kalau kita sedang bersedekah. Ketersembunyian bersedekah ini nilainya lebih tinggi karena benar-benar menunjukkan orang yang bersedekah itu disertai ketulusan dan keikhlasan, selain tentu saja janji Allah bahwa sedekah dapat menghapus dosa dan kesalahan manusia. Oleh karena itu sedekah, baik yang terang-terangan maupun yang disembunyikan semestinya dapat dibiasakan dalam kehidupan sehari-hari kita sebagai orang yang beriman dalam Islam. 

Oleh kareha itu pada bulan puasa Ramadhan ini, kita pun dianjurkan oleh Rasulullah Saw. untuk memperbanyak bersedekah. Rasululah Saw bersabda yang kurang lebih artinya adalah, Sedekah yang paling tinggi nilainya adalah sedekah di bulan Ramadhan (HR Muslim). Jadi dari Hadits Nabi ini menunjukkan bahwa bulan puasa Ramadhan, tidak hanya kita diinstruksikan untuk berpuasa agar memahami bagaimana pengalaman orang-orang yang hidup tidak makan dan minum sebagaimana yang sering dialami oleh orang-orang yang jatuh dalam kefakiran, tetapi juga dengan  tidak makan dan minum itu, harta kekayaan yang kita cintai dapat  disisihkan untuk bersedekah kepada orang-orang yang hidup berkekurangan itu.


Memang di tengah persaingan eknomi global dan dunia usaha yang makin keras saat ini, orang berkompetisi untuk mendapatkan sumber-sumber ekonomi, sehingga individu-individu bersaing untuk memperebutkan sumber-sumber ekonomi itu demi tidak hanya mempertahankan hidupnya atau “survival of the fittes”, tetapi juga untuk mengembangkan kehidupannya menjadi lebih sejahtera dan makmur. Kehidupan yang sejahtera dan makmur kemudian menjadi dambaan semua orang yang hidup di zaman serba global sekarang, dimana-mana kita melihat orang berlomba-lomba bekerja mencari nafkah. Bahkan saking semangatnya mencari nafkah, orang menjadi lupa dan timbul nafsu serakahnya sehingga dalam mencari rizki untuk mendapatkan hidup makmur dan sejahtera itu, orang menjadi tidak segan-segan melakukan  tindakan korupsi, penipuan dan segala jenis perilaku patologi sosial lainnya. 

Untuk itulah dengan ajaran sedekah, apalagi pada bulan puasa ini, Islam mengajarkan tidak bahwa sifat-sifat serakah yang dalam dalam diri kita berupa nafsu ingin menguasai harta dan kecintaan terhadap dunia yang berlebihan dapat kita minimalisir. Dengan memperbanyak sedekah pula, kita merasa bahwa harta yang dimiliki sebenarnya ada hak bagi orang lain dan kita berkewajiban memberikannya. Begitulah rupanya sedekah kemudian menjadi jalan religus yang ditawarkan oleh Tuhan dan Rasul-Nya untuk menolong problem kemiskinan masyarakat, atau paling tidak ia dapat mengurangi jurang kesenjangan sosial di negeri tercinta ini. Wallahu A’lam

@Artikel pendek dimuat di Harian Meteor Mutiara Ramadhan 1432 H/23 Agustus 2011


PUASA ITU BENTENG



Oleh : Masroer Ch Jb#


Dalam kitab Hadits Shahih Muslim disebutkan bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam pernah bersabda, “ash shiyamu junahun” yang artinya puasa itu adalah benteng atau perisai. Jadi orang yang berpuasa di bulan Ramadhan adalah orang yang sedang membentengi diri dengan mempertebal kekuatan rohani. Membentengi diri disini dimaknai bagaimana kita yang berpuasa  di bulan Ramadhan mampu membentengi diri dari seluruh godaan hidup, baik berupa godaan akan kesenangan materi, kesenangan seksual maupun kesenangan kesenangan lainnya yang membuat manusia dapat melupakan Tuhannya.
Oleh karena itu orang yang berpuasa adalah orang yang menjadikan puasanya sebagai perisai untuk menahan diri dari serangan-serangan berupa godaan hidup yang datang dari luar diri kita, yang datang dari lingkungan kita yang berupa kesenangan kesenangan sebagaimana yang disebutkan tadi, lebih lebih di era globalisasi saat ini. Dalam kesenangan materi, misalnya menusia pada dasarnya merupakan makhluk bersifat material yang selalu merasa berkekurangan akan kebutuhan fisik, ia tidak hanya ingin menghilangkan kekurangan itu dalam bentuk memenuhi kebutuhan makan dan minum, tetapi juga kekurangan untuk hidup agar memiliki kesenangan yang lain itu.
Namun dengan kita berpuasa kesenangan-kesenangan itu hendaknya dapat kita bentengi, dapat dikendalikan agar terhindar dari kehidupan yang melalaikan kita dari sikap peduli, yang dapat melenakan kita dari berdekatan sebagai hamba Tuhan. Dengan  mengendalikan diri itu, kita dituntut tidak hanya selalu bersyukur atas nikmat dan kaunia Allah yang kita miliki dengan semua kesenangan materi sehingga merasa tidak hanya berkecukupan, tetapi juga dengan pengendalian diri itu, kita menjadi manusia yang bisa berbagi hidup dengan orang lain, dengan sahabat sahabat, dengan teman, dengan tetangga  dan dengan kolega kerja kita.
Begitu pula dengan kesenangan seksual, berpuasa mengajarkan kita untuk membentengi diri dari kebutuhan biologis yang tidak terkendali. Dengan puasa, kita dituntut untuk memperkaya rohani sehingga hawa nafsu yang bersifat biologis itu dapat diarahkan ke jalur yang dibenarkan oleh norma-norma sosial maupun petunjuk Tuhan dan Rasul kita. Begitulah makna singkat puasa sebagai benteng bagi manusia dalam menghadapi godaan hidup di dunia. Wallahu A’lamu.

#Artikel pendek dimuat dalam Koran Meteor Mutiara Ramadhan 1432 H/14 Agustus 2011

REFLEKSI RAMADHAN: KEJUJURAN MUHAMMAD SAW

Oleh : Masroer Ch. Jb.*


Naskah ini disampaikan ke khalayak kaum muslimin sebagai refleksi di tengah persoalan-persoalan patologis masyarakat kita yang timbul sejak era reformasi berlangsung lebih dari tujuh tahun lalu. Padahal reformasi yang digulirkan itu justru lahir sebagai upaya membangkitkan kembali gerakan moral (moral of force) di tengah deviasi sosial berupa penyakit KKN yang dulu pernah menggerogoti pemerintahan masa lalu. Melalui momentum bulan suci Ramadhan 1428 H, naskah ini juga mencoba berintrospeksi (muhasabah) agar kita dapat kembali meneladani Muhammad Saw sebagai top figur moral, terutama dalam hal kejujurannya. Sebab hanya dengan kekuatan moral inilah menurut Michael H. Hart, Nabi Saw kita menjadi manusia yang paling sukses dan cepat membangun peradaban dunia sekaligus agama. Sudah pasti di setiap berbicara dan bertindak atas nama agama Islam, lebih lagi dalam suasana Ramadhan ini, kita selalu diingatkan pada sosok Muhammad Saw. sebagai satu-satunya manusia yang paling banyak disebut-sebut namanya, meskipun kini tidak sedikit orang yang mulai melupakan kisah hidupnya.

Kedudukan Muhammad Saw yang memang sangat dihormati, bahkan secara religius hanya satu tingkat di bawah Allah dalam keyakinan umat Islam, seperti dari bacaan sehari-hari kita ketika sholat dan di waktu adzan yang selalu menyebut nama beliau, bahkan dalam dasar keimanan ketika orang menyatakan muslim dengan ikrar syahadatnya. Kedudukan Muhammad yang demikian itu membuktikan bahwa beliau bukan manusia biasa, sekalipun secara biologis ia juga manusia yang kerso makan, minum dan berrumah tangga. Ketidakbiasan Muhammad sebagai manusia dinisbatkan karena perannya yang melampaui (beyond) manusia pada umumnya, terutama peran yang begitu sentral dalam kemunculan agama Islam. Bahkan saking sentralnya, sejumlah orientalis mengira Muhammadlah; orang yang menciptakan Islam sebagai agama yang kini dianut lebih satu miliar penduduk dunia, setingkat di bawah Kekristenan. Dalam salah satu studi orientalisme, misalnya disebut-sebut asal usul Islam dinisbatkan ke nama Nabi ini, yaitu Muhammadanism. Sehingga agama Islam dinilai secara naïf sama dengan Muhammadanism; semacam ideologi dunia (world ideology) yang diciptakan sekaligus disebarkan Muhammad kepada pengikut-pengikutnya dengan kekerasan dan jihad yang tidak masuk akal. Akan tetapi Muhammad Saw bukan pencipta ajaran Islam karena Islam adalah agama wahyu (revelatio) yang bersumber dari millata Ibrahima. Muhammad adalah manusia yang dimukjizati Tuhan untuk menyampaikan risalah-Nya, sebagaimana Yesus dan Musa pernah mengalami. Beliaulah manusia satu-satunya panerima wahyu dalam rupa al-Qur’an sebagai firman Tuhan yang paling akhir dihadirkan ke dunia sebagai jalan keselamatan dan petunjuk kebenaran bagi manusia.

Dengan kedudukan dan peran seperti itu, maka tidak salah apabila Tuhan memilih Muhammad sebagai Rasul atau Nabi penutup semua nabi (khatam al anbiya), sehingga agama yang dibawanya pun disebut penutup semua agama (khatam al adyan). Dalam riwayat hidup Muhammad sebagaimana lazimnya kisah hidup manusia, beliau dilahirkan di Mekah pada 21 April 570 Masehi atau bertepatan 12 Rabiul Awal tahun Gajah dalam kelendar Islam. Dalam buku-buku tebal yang ditulis oleh para ahli tarikh Islam, seperti at-Athabari dan Ibnu Ishak, dikisahkan sejak usia dini Muhammad sudah hidup bergelimang penderitaan akibat ditinggal wafat ayah ibunya, dan kemudian diasuh oleh kakeknya; Abdul Muthalib, serta sepeninggalnya tumbuh besar di bawah asuhan sang paman; Abu Thalib. Karena itu sejak kecil Muhammad Saw telah hidup sebatang kara, sehingga para ulama dan guru agama kita sering mengisahkan kehidupan Muhammad Saw di waktu kecil penuh kesusahan. Karena itu pula untuk mengurangi penderitaannya, pada masa remaja Muhammad Saw sudah bekerja menghidupi diri, terutama menggembala domba, dan menjalankan pekerjaan berdagang milik majikannya dari dan ke negeri Mekah-Syiria. Pada waktu usia dewasa, bahkan semenjak diangkat menjadi Rasul, kisah hidupnya masih saja berhiaskan duka cita. Itu tampak dari perjuangan dakwah pertama Muhammad Saw yang gagal di Mekkah akibat pemboikotan dan kekerasan fisik, kemudian ditinggal wafat orang-orang dekatnya; Khadijah dan Abu Thalib, sampai wafat beliau yang tidak meninggalkan harta apapun selain sebidang tanah yang diwakafkan. Namun justru dari kisah hidup yang penuh duka cita itu, beliau tumbuh menjadi manusia yang berkepribadian tangguh dan realistik, sampai-sampai masyarakat Arab pernah memberinya gelar sebagai al-Amin (orang jujur) alias dapat dipercaya (trust).

Kejujuran sang Nabi Saw ini dapat diketahui, misalnya dari perkataan, sikap dan perbuatannya yang selalu seia dan sekata sebagaimana yang terjadi ketika beliau bersama masyarakatnya memecahkan persoalan siapa yang berhak meletakkan posisi Hajar Aswad ketika selesai memperbaiki bangunan Ka’bah yang rusak akibat diterjang banjir bandang. Kejujuran Muhammad Saw inilah yang kelak membuat dirinya mampu mempertahankan sifat-sifat kerasulannya, yang terderivasi menjadi empat, yaitu amanah, tabligh, shidiq dan fathanah yang semuanya mengkristal dalam satu nilai moral, yaitu kejujuran. Untuk itu kejujuran kemudian menjadi sangat kuat mempengaruhi doktrin etika sosial dalam Islam, ia menjadi ajaran profetika yang selalu diidealkan umat di saat menyatakan keberislamannya. Kejujuran merupakan nilai universal-tertransedensi dalam kehidupan sosial yang mengandung arti sikap yang selalu konsisten dan sejalan dengan apa yang dikatakan dengan yang diperbuatnya. Kejujuran juga dapat dimaknai sebagai ungkapan batin yang terdalam dalam hati nurani tidak berbeda dengan ungkapan yang dilahirkannya dalam bahasa yang kemudian terpancar dalam tindakan.

Sebaliknya lawan dari kejujuran adalah kebohongan, kecurangan dan yang paling parah adalah kemunafikan (hipokritas). Namun rasa-rasanya manusia yang kian hidup dalam dunia peradaban yang canggih ini, agaknya telah meninggalkan nilai kejujuran, karena ia dianggap identik dengan kepolosan.Padahal kepolosan tidak lain anak kandung dari kebodohan. Dan kebodohan adalah sumber dari segala sumber keterbelakangan peradaban. Di dunia kita, semakin tinggi tingkat kecerdasan seseorang, semakin jauh ia dari kejujuran. Dengan dalih berteori dan berwacana yang njlimet, orang cerdas yang dikenal masyarakat sebagai kaum cerdik cendekia, sebenarnya ia ketika berteori atau berwacana itu sedang berkata jujur atau tidak, sulit dibedakan batas-batasnya. Ironisnya, dunia kita lalu mengembangkan bahasa baru, dengan istilah trik, manipulasi, akal-akalan, kamulfase, dan atau siasat sebagai bahasa eufemisme yang mencoba membuyarkan batas-batas antara nilai kejujuran dan kecurangan, sehingga kejujuran menjadi istilah etis yang begitu sulit dibatasi pemeriannya dan rumit pengungkapan makna faktualnya. Memang dalam dunia yang peradabannya sangat mengunggulkan ilmu pengetahuan dan teknologi saat ini, orang beramai-ramai untuk menguasai peradaban itu melalui derajat kecerdasan yang dimilikinya. Karena itu dalam dunia seperti ini, orang yang cerdas mendapat tempat yang baik di masyarakat kita. Biasanya orang yang cerdas menduduki jabatan yang tinggi dalam statifikasi sosial. Masyarakat akan memandang, misalnya lurah, guru, pejabat pemerintah, aparat militer, dosen, direktur, menteri, dan bahkan pemimpin agama (religious leader) adalah golongan cerdik cendekia.

Namun seringkali kecerdasan orang yang menduduki posisi sosial yang tinggi seperti itu tidak mudah untuk berpegang pada nilai kejujuran, lebih lagi di tengah bawahan atau masyarakatnya yang justru masih hidup dalam keberbersahajaan, jika tidak mau dikatakan dalam kebodohan. Jika kita ambil contoh; si A misalnya menjadi pejabat publik, tidak jarang kecerdasannya akan ia gunakan untuk bagaimana memanipulasi tata adimistrasi dan prosedur birokrasi, guna memperoleh keuntungan pribadi. Laporan administratif yang dikeluarkan tidak jarang dengan kenyataan di lapangan berbeda ketika ia tengah menyelesaikan proyek-proyek yang ditugaskannya bagi peruntukan publik. Di sinilah kemudian nilai kecerdasan menjadi potensi destruktif yang dapat mengancam hidup kemanusiaan publik, jika tidak dibarengi oleh kejujuran. Untuk itu tidak ada yang dapat kita kembalikan problem ini, selain kepada manusia yang paling cakap memegang kejujuran, yakni Nabi kita; Muhammad Saw. Hanya dengan kembali kepada keteladanan Nabi yang jujur inilah, kecerdasan kita yang kita milikia akan ikut serta membawa rahmat bagi peradaban kemanusiaan dunia. Tidakkah Muhammad Saw. sendiri diutus oleh Allah Swt hanya untuk memperbaharui moral kita.?  Semoga kita semua dapat mengikuti cita-citanya. Wallahu A'lamu.

WACANA KEDUABELAS>>ISLAM DAN PSIKOLOGI: SUATU PENGANTAR


Oleh : Masroer Ch. Jb.


Islam dan psikologi adalah dua istilah yang pada kenyataannya berbeda, namun dalam cita idealnya dapat dihubungkan. Istilah Islam berasal dari akar kata aslama yuslimu islaman, yang berarti pasrah, damai atau selamat. Dalam pengertian terminologi ini, Islam mengandung arti sebagai agama yang membawa ajaran kepasrahan, kedamaian dan atau keselamatan bagi pemeluknya ketika ia mempercayai Allah sebagai satu-satunya Tuhan yang wajib disembah. Dalam pengertian yang diketahui khalayak umum, Islam adalah sebuah agama langit (agama samawi) yang diturunkan oleh Allah Swt kepada Nabi Muhammad Saw dengan membawa ajaran kitab suci Al-Qur’an untuk disampaikan kepada umat manusia sebagai pedoman hidup yang abadi. Ajaran kitab suci al-Qur’an yang dipedomi ini dijelaskan dalam (kitab) Hadits Nabi yang kemudian diperinci lagi dalam kitab-kitab yang dihasilkaryakan oleh sahabat-sahabat Nabi Saw. dan para ulama. Masalahnya kemudian adalah apakah Islam semata-mata dilihat sebagai agama? Atau ia memiliki arti lain? Untuk menjawab pertanyaan ini kita dapat membaca buku karya cendekiawan muslim Prof. Nurcholis Madjid yang berjudul, “Islam Doktrin dan Peradaban”. 

Dari buku itu kita dapat mengambil kesimpulan bahwa ternyata Islam tidak semata-mata sebagai agama wahyu atau sekumpulan doktrin yang wajib diimani oleh pemeluknya sebagaimana yang dijelaskan di atas, akan tetapi ia juga merupakan sebuah peradaban dunia. Jika Islam dilihat dari kacamata peradaban, maka Islam adalah sebuah peradaban hidup yang mencakup seluruh dimensi kehidupan umat manusia, mulai dari soal ekonomi, politik, sosial, kebudayaan, dan bahkan ilmu pengetahuan yang dibangun oleh kaum muslimin di sepanjang sejarah kehidupannya. Jika kita, misalnya memahami Islam sebagai bagian dari bangunan peradaban ilmu pengetahuan, maka kita mengenal banyak sekali istilah-istilah ilmu pengetahuan yang terkait dengan kata Islam, seperti sosiologi Islam, antropologi Islam, ekonomi Islam, budaya Islam, arsitektur Islam, dan bahkan juga psikologi Islam. Menurut Prof. Amin Abdullah, istilah-istilah yang disebutkan itu merupakan bagian dari Studi Islam. Jadi Studi Islam itu sebenarnya tidak semata-mata Dirasah Islamiyah atau yang selama ini dipahami secara konvensional dan sempit sebagai ilmu agama un sich, tetapi juga mencakup ilmu-ilmu pengetahuan moderen yang ada saat ini yang telah ditumbuhkembangkan oleh kaum muslimin di dunia.

Oleh karena itu dalam Studi Islam kita mengenal pendekatan (baca: metodologi) sosiologi, pendekatan antropologi, dan bahkan pendekatan psikologi. Persoalannya lagi kemudian kenapa pendekatan-pendekatan itu muncul dalam Studi Islam? Untuk menjawab pertanyaan ini kita harus melihat bahwa dalam Studi Islam obyek kajian yang paling utama adalah Islam itu sendiri sebagai ajaran yang terdapat pada al-Qur’an dan Hadits Nabi, serta korpus-korpus keagamaan lain sekaligus bagaimana penerapan ajaran itu dalam kehidupan sehari-hari di kalangan pemeluknya. Untuk mengetahui “obyek kajian” Islam sebagaimana yang digambarkan tersebut, kita tidak cukup hanya menggunakan pendekatan tafsir atau hermeneutika, atau pendekatan fikih, atau pendekatan teologis (ilmu kalam), melainkan juga memerlukan pendekatan lain yang sesuai dengan persoalan masyarakat Islam sehari-hari seiring dengan  semakin kompleks dan rumitnya kaum muslimin dalam mengamalkan ajaran Islam itu sendiri. Oleh karena itu dalam Studi Islam di sepanjang sejarahnya, terutama yang lahir di Timur Tengah, banyak ilmuwan muslim dan para ulama yang menggunakan pendekatan sosiologi atau psikologi seperti yang istilahnya kita kenal sekarang. Katakanlah kita mengenal Al-Farabi dengan pendekatan “psikologi” mampu menperkenalkan teorinya bahwa musik bisa menjadi terapi untuk penenangan jiwa bagi individu-individu yang bermasalah dalam hubungannya dengan soal ketuhanan. Dan atau juga Imam al-Ghazali yang pernah menerbitkan buku “psikologi” dengan pendekatan mistik, yaitu al-Kimiyya al-Sa’adah (kimia kebahagiaan) yang membahas soal bagaimana cara-cara mencapai kebahagiaan hidup bagi manusia dengan mengurai unsur-unsur kimiawi kebahagiaan yan terdapat dalam jiwa manusia. 

Persoalannya lagi kemudian mengapa Islam dan psikologi sebagaimana judul diatas seolah-olah merupakan hal yang berbeda dan asing? Bukankah dan padahal dalam sejarah Studi Islam yang digagas kaum muslimin di abad-abad yang lalu, hal itu merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan? Untuk menjawab persoalan ini kita dapat menelusuri dari perkembangan peradaban kaum muslimin yang selama abad ke-15 Masehi mengalami kemunduran yang luar biasa, di mana ilmu pengetahuan mengalami kejumudan alias tidak dapat berkembang, terutama sejak keruntuhan Kekhalifahan Abbasiyah di Baghdad dan kehancuran Kesultanan Ustmani di Turki. Kemunduran tersebut kemudian diambil alih oleh bangsa-bangsa Eropa yang melahirkan peradaban Barat atau peradaban moderen seperti yang kita kenal sekarang. Sejak kemunculan semangat afklarung di Jerman, revolusi industri di Inggris atau kelahiran abad pencerahan di Eropa, seluruh ilmu pengetahuan moderen yang merujuk pada peradaban Yunani yang telah punah itu bangkit kembali dan berkembang pesat di dunia Barat. Lahirlah kemudian filsafat yang menggantikan kepercayaan pada dewa-dewa dan agama Yunani Kuno.

Dari filsafat dengan berbagai cabangnya itu muncul ilmu pengetahuan alam atau sains, seperti fisika, matematika, biologi, kimia, lalu disusul ilmu-ilmu sosial, seperti sosiologi, ekonomi, dan terakhir di abad ke-20 M., lahir ilmu-ilmu humaniora, seperti psikologi dan komunikasi. Kemajuan ilmu pengetahuan moderen di Barat ini semakin berkembang meluas seiring dengan pengaruh kolonalisme di berbagai belahan dunia, sehingga hampir semua negara yang dikolonisasi oleh bangsa Barat  mengadopsi perkembangan ilmu pengetahuan moderen. Lalu lahirlah universitas-universitas dan sekolah-sekolah dalam bentuk klasikal di negara-negara jajahan itu yang mengikui sistem pendidikan klasikal dan model kurikulum Eropa (mengggantikan sistem pendidikan madrasah dan atau pesantren), tidak terkecuali di Dunia Islam yang juga tidak terlepas dari pengalaman sejarah kolonialisme.

Ciri pokok ilmu pengatahuan moderen yang dikembangkan di dunia Barat itu terletak pada kekuatan epistemologinya yang berkembang sedemikian dinamis mengikuti perubahan zaman dan konteks, sehingga banyak lahir teori-teori, konsep, dan metodologi ilmu pengetahuan yang bersifat rasional-empiris, di mana-mana ukuran kebenaran ilmu pengetahuan itu bertumpu pada sifatnya yang rasional dan atau empiris ketika diuji di lapangan. Tentu saja pengaruh ilmu pengetahuan moderen ini langsung atau tidak menimbulkan persoalan tersendiri bagi kamu muslimin. Untuk itulah di awal abad ke-20 M. di mana-mana, seperti di Mesir, Turki, dan Indonesia lahirlah Gerakan Kebangkitan atau Pembaharuan Islam yang bertumpu pada semangat untuk memajukan ilmu pengetahuan di Dunia Islam. Karena semangat memajukan ilmu pengatahuan di Dunia Islam ini tidak menemukan modelnya di negeri sendiri pada waktu itu, akhirnya ditengoklah model kemajuan ilmu pengetahuan moderen yang berkembang di Dunia Barat. 

Dari sini kemudian ilmu-ilmu pengetahuan moderen diterima kaum muslimin sebagai bagian dari semangat untuk memajukan ilmu pengetahuan, tidak terkecuali (ilmu) psikologi. Oleh karena itulah kemudian ilmu psiklogi ini diadoposi menjadi bagian intrinsik dari Studi Islam. (Ilmu) psikologi kemudian tidak hanya dipakai dalam dasar-dasar epistemologinya (baca metodologi) untuk memahami ajaran Islam yang terdapat dalam al-Qur’an dan Hadits Nabi serta korpus-korpus keagamaan lain, tetapi juga persoalan masyarakat Islam yang hidup di era kekinian. Dengan (ilmu) psikologi, misalnya dengan memakai pendekatan Freudian kita dapat memahami kenapa dalam masyarakat Islam interaksi seksual (id) yang menjadi kekuatan jiwa manusia untuk mengerakkan kehidupannya itu harus diatur dalam lembaga keluarga/perkawinan, dan lain-lain persoalan psikis umat. Oleh karena kemudian (ilmu) psikologi ini digunakan untuk memahami ajaran Islam sekaligus problem psikis yang dihadapi umat, maka dikatakanlah oleh para pakar dengan istilah Psikologi Islam. Lalu masalahnya apakah Psikologi Islam itu hanya sebatas ilmu yang secara aksiomatik berguna bagi kepentingan memahami ajaran Islam dan kebutuhan kaum muslimin. Tentu pertanyaan ini menimbulkan perbincangan yang hangat di kalangan ilmuwan muslim sendiri. Selain (ilmu) psikologi di Dunia Islam juga belum berkembang secara maksimal dalam aspek epistemologinya, juga tujuan aksiomatik untuk apa dan siapa ilmu ini dikembangkan juga masih menjadi perdebatan yang melelahkan. 

Di satu sisi Psikologi Islam dipakai untuk keperluan ajaran Islam dan umatnya dalam mengatasi berbagai persoalan internal. Tetapi di sisi lain ada yang berpendapat Psikologi Islam itu tidak semata-mata untuk keperluan subyek dan obyek Islam, melainkan bersifat universal (rahmatan lil alamin), yakni melampaui batas-batas “identitas” Islam itu sendiri, sehingga dapat dikembangkanlah cabang-cabang (ilmu) psikologi lain, seperti psikologi industri, psikologi organisasi, psikologi diagnosis, psikologi konseling, psikologi dinamika, dan lain sebagainya, yang kelak di Dunia Islam dapat memberi kontribusi positif bagi masyarakat dunia umumnya. Nah dari situlah, agaknya kita dapat menemukan jawaban bagaimana sikap dan posisi kita dalam memandang secara paradigmatik perkembangan (ilmu) Psikologi di Dunia Islam yang sudah berdialog dengan ilmu pengetahuan Barat sebagaimana yang tertulis dalam judul artikel ini, yaitu “Islam dan Psikologi”? Wallahu A'lam..

SUMBER PUSTAKA Ikhrom, Titik Singgung Antara Tasawuf, Psikologi Agama dan Kesehatan Mental, Teologia, Volume 19, Nomor 1, Januari 2008 Thomas H. Leahey, A History of Modern Psychology,New Jersey: Prentice Hall International, Inc., 1991 Kuntowijoyo. Islam Sebagai Ilmu. Yogyakarta: Tiara Wacana, 2006. Nurcholis Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban, Jakarta, Paramadina. 2005 M. Amin Abdullah, “Etika Tauhidik Sebagai Dasar Kesatuan Epistemologi Keilmuan Umum dan Agama: Dari Paradigma Positivistik–Sekularisrtik kearah Teotroposentris–Integritas”, dalam Jarot Wahyudi, Menyatukan Kembali Ilmu-Ilmu Agama dan Umum: Upaya Mempertemukan Epistemologi Islam dan Umum, Yogyakarta, Sunan Kalijaga Press 2003. -------------------, “Design Pengembangan Akademik IAIN Menjadi UIN Sunan Kalijaga; Dari Pola Pendekatan Dikotomis Atomistik ke Arah Integratif-Interdisiplinary”, Makalah dalam Diskusi Panel Refleksi 21 Tahun Program Pasca Sarjana IAIN Sunan Kalijaga, 16 Maret 2004. -------------------, Islamic Studies di Perguruan Tinggi Islam Pendekatan Integratif Interkonektif, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2006.