WACANA TIGA

Globalisasi & Pluralitas Kita
Oleh : Masroer Ch. Jb.

Artikel lepas yang tersusun ini dipublikasikan dengan maksud pokok mencoba memberi responsi yang –meminjam pikiran Jurgen Habermas-- agak kritis secara epistemik sekaligus sedikit sinis terhadap arus globalisasi dan anak kandungnya; pluralisme sebagai “new world order” satu-satunya yang harus diterima dari hasil traformasi peradaban Barat, dan implikasinya bagi spirit nasional kita di Indonesia. Untuk itu tidak usah merasa harus terkejut sekaligus menghujat jika artikel lepas ini hanya dipaparkan dalam bentuk narasi-narasi simplistis yang sama sekali tidak mengandung kedalaman dan keluasan arti globalisasi itu sendiri secara teoritis dalam persepsi epistemologi sosial. Namun metode kritisisme epistemik yang dipakai dalam penulisan artikel, layak diparesiasi sebagai “karya ilmiah” yang barangkali agak berbobot menurut subyektivtas saya.

Dalam pada itu, globalisasi dunia (globalization of the world) yang sebagian besar diimpor dari negeri AS, kini tidak saja merambah negeri-negeri serumpun AS yang terletak di daratan benua Eropa (Eropa Kontinental) plus kepulauan Britania Raya, melainkan telah merasuki pula di hampir seluruh pelosok dunia, termasuk Indonesia. Globalisasi itu seperti komoditas yang diperjualbelikan oleh produsen kepada konsumen. Globalisasi diproduksi sekaligus dikonsumsi oleh penduduk negeri tanpa mengenal batas-batas wilayah negara, geografi, iklim, ras, dan bahkan agama. Dalam “dunia” globalisasi, baik produsen maupun konsumen keduanya sama-sama diuntungkan. Yang pertama diuntungkan oleh karena kemampuan menjual produksinya sehingga menghasilkan keuntungan finansial yang berlipat ganda dan kejayaan diri (powerself), yang kedua diuntungkan oleh karena kemampuan mengkonsumsi produk globalisasi yang kemudian menghasilkan kepuasan jiwa, materi, dan kenikmatan tubuh.

Sebagai produsen terbesar globalisasi saat ini, rupanya AS dengan gencar menperdagangkannya ke penduduk negeri di berbagai belahan dunia. Tidak hanya diperdagangkan di kawasan negeri-negeri Timur Tengah, Amerika Latin, Afrika, dan Asia, tetapi juga telah masuk tanpa permisi di depan pintu rumah kita; Indonesia. Dagangan globalisasi AS itu kadang-kadang dilakukan melalui cara-cara halus dan damai layaknya pedagang yang jujur, tetapi tidak sedikit yang dijalankan dengan cara kekerasan (militer) dengan seperangkat alat teknologi tinggi, seperti yang dipertontonkannya di negeri Irak baru-baru ini.
Melalui teknologi informasi (IT) yang canggih, globalisasi membawa segudang barang dagangan. Mulai dari ide dunia (world view), ideologi, ilmu pengetahuan, fashion, makanan instan, industri film, arsitektur, produk budaya, website, teknologi perang, civil society, bahkan juga model agama. Dalam bidang agama dan produk budaya misalnya, globalisasi menyebarkan ide kesadaran akan pluralisme dunia (world pluralism). Pluralisme, baik dari budaya maupun agama yang kita kenal dengan istilah multikultur dan multireligius, merupakan kebutuhan dasar manusia yang hidup di era yang disebut dengan peradaban global (global civilization).

Karena itu gagasan mengenai kebutuhan manusia akan pentingnya kehidupan yang multikultur dan multireligius juga menjadi isu penting di negeri ini. Isu ini bertolak dari paradigama dasar bahwa tanpa kebutuhan akan kesadaran multikultur dan multireligius, justru manusia akan teralienasi dari lingkungan hidup yang digumulinya secara sosial. Kenapa begitu? Oleh karena negeri ini sejak dahulu kala memang sudah dalam kondisi hidup bermasyarakat yang multikultur dan multireligius; bhineka tunggal ika, begitulah Mpu Prapanca, seorang pujangga kuno menyimpulkan kondisi yang plural seperti itu.

Karena itu tidak heran jika Indonesia, negeri yang pada masa lampau disebut dengan nusantara ini, ternyata telah dihuni beratus-ratus suku, etnik, budaya, dan religi yang hidup berdampingan dan saling berinteraksi selama berabad-abad. Sejarah kebangsaan kita mencatat dengan gamblang, di persada nusantara terdapat banyak sekali keanekaragaman (pluralistas), baik dari suku bangsa maupun religinya. Ada suku bangsa Batak dengan segenap pernik budaya, religi, dan bahasanya, terdapat pula suku bangsa Dayak, Madura. Arab, Jawa, Tionghoa, Flores, Bugis, dan sebagainya yang saling berkomunikasi, meskipun hidup di kepulauan yang dipisahkan oleh lautan. Namun justru melalui hubungan lautan, mereka berinteraksi sosial, berdagang, kawin mawin dan membuat kontrak politik yang membentang dari penghujung pulau Sabang (Aceh) sampai ke ujung timur Merauke di tanah Papua.

Jadi barangan dagangan globalisasi untuk yang satu ini (pluralisme) memang sudah tidak asing lagi. Ia bukan barang yang baru, aneh, dan diharamkan di negeri yang berpenduduk terbesar keempat di dunia. Karena itu, sebenarnya kita hanya dibangkitkan dari tidur lelap tentang kesadaran pluralisme tersebut. Sekarang kesadaran itu muncul dengan tiba-tiba bersaman dengan tumbuhnya gelombang reformasi Indonesia. Di mana-mana semua orang dan institusi berbicara tentang pluralisme dengan tema-tema yang beragam, mulai dari religi lokal, local wisdom, budaya etnik lokal, desentralisasi, otonomi daerah sampai ke persoalan putra daerah, sesuatu yang dulu tabu dibicarakan. Tetapi kini telah menjadi wacana yang ramai didiskusikan dan dipaparkan di media cetak maupun elektronika.

Menjelang Pemilu tahun 2009, pluralistas bangsa kita agaknya akan mendapat ujian hebat lagi. Masing-masing partai politik sudah pasti ingin bersaing keras mencari dukungan, baik dukungan yang diperoleh dari suku bangsa tertentu, agama tertentu maupun budaya tertentu bahkan kalau perlu semuanya mendukung partai politik tertentu. Bisa jadi kompetisi ini menimbulkan persoalan dimana pluralistas kita akan jatuh ke dalam jurang yang paling dalam dan rendah (asfala safilin). Pluralistas sekadar dijadikan alat oleh sekelompok pemimpin politik untuk mengungkit-ungkit sentimen religius, suku, dan sentiman golongan, sehingga membangkitkan fanatisma sempit dan anarkhisme. Pluralistas yang diperalat sedemikian sempit dan tidak beradab itu pada ujungnya hanya akan menciptakan anomi, dan bahkan pertumpahan darah diantara sesama anak bangsa senidiri.

Oleh karena itu pluralisme di negeri ini harus dipakai sebagai tujuan bukan alat, misalnya guna memenangkan perlombaan dalam Pemilu 2009 kelak. Dengan media (baca; alat) demokrasi politik dalam arti yang senyatanya, masing-masing partai politik dapat berlomba-lomba untuk memenangkan Pemilu 2009 demi tegak dan berkembangnya pluralisme Indonesia. Sebuah model pluralisme yang diikat oleh nilai universal nasionalisme yang bertumpu pada nilai-nilai partikular pluralisme (lokal) itu sendiri, seperti keadilan dan toleransi. Tanpa itu semua, maka visi dan jargon partai politik yang masih mempertahankan sektarianisme dan primordialisme, sudah pasti tidak akan mendapat dukungan besar dari segenap suku bangsa dan agama di Indonesia. Di mana langit dijunjung, di situ bumi dipijak! 

Artikel u Pro Independensia Bakornas LAPMI PB HMI 2007

WACANA SEMBILAN

Agama, dan Etika Perdamaian
Oleh : Masroer Ch. Jb.*


Kekuatiran dari kalangan dunia usaha beberapa waktu lalu akan terjadinya konflik kekerasan dalam Pemilu 2004 & 2009 ternyata hingga detik ini hanya isapan jempol belaka alias tidak terbukti. Setiap Pemilu digelar ada anggapan akan membawa resiko tinggi, yakni memicu konflik. Alasanya, selain Pemilu diselenggarakan di tengah kehidupan nasional yang masih didera krisis dan trauma konflik agama dan etnik yang silih berganti, juga momentum Pemilu kali ini ada tiga hal yang baru yang kemungkinan tidak dipersiapkan secara matang dalam pelaksanaannya. Yang baru dari pesta demokrasi tersebut ialah selain dilangsungkan dalam tiga kali putaran pemilu yang memakan waktu hampir setahun, juga adanya pemilihan presiden dan wakilnya yang dipilih langsung oleh rakyat. Alhamdulillah, pada putaran pertama Pemilu kemarin kekuatiran tadi tidak menjadi kenyataan. Pemilu telah berjalan relatif sukses dan damai di seluruh pelosok Tanah Air.

Masalahnya lantas bagaimana jika konflik benar-benar menyeruak dalam putaran pemilu selanjutnya yang kini mulai tampak di depan kita? Bisakah agama yang selama ini dianggap sebagai kekuatan yang paling suci; terbebas dari konflik (kepentingan) mempunyai peran mengantisipasinya? Atau ia malah terlibat dalam konflik karena banyaknya tokoh agama berinkarnasi menjadi politisi yang saling bersaing keras? Agama dan konflik Pemilu merupakan dua hal yang terpisah. Tetapi jika keduanya berada dalam tempat dan momentum yang sama tentu masalahnya menjadi lain. Dalam pemilu 2004 dan juga pemilu-pemilu sebelumnya, para tokoh agama seringkali masuk dalam wilayah ini, bahkan berinkarnasi menjadi politisi yang ramai-ramai diusung menjadi calon presiden, misalnya. Di sini agama dan politik telah berjalin kelindan karena sama-sama berujung pada perebutan kekuasaan (power). Isul keharaman perempuan menjadi presiden yang difatwakan sekelompok ulama menjadi contoh baik bagaimana politik berkelindan dengan agama atau politisasi agama.

Kalau sudah begitu, eksistensi dan fungsi agama menjadi paradok. Di satu sisi ia terlibat dalam konflik oleh karena peran dirinya yang berubah menjadi kekuatan politik yang bertarung. Tetapi di sisi lain agama juga bisa berperan secara efektif lewat medium keperpolitikan untuk mengajarkan betapa urgensinya agama dalam membangun masyarakat yang damai dan aman. Ini artinya agama dapat memotivasi pencapaian pendidikan politik warga bangsa dalam menyalurkan hak politiknya secara damai.

Dimensi teologis semua agama sejatinya memang mengajarkan untuk mewujudkan nilai-nilai perdamaian --bukan konflik-- di segenap kehidupan yang dijalani para pemeluknya. Hidup damai merupakan kebutuhan asasi yang didambakan manusia di sepanjang hayatnya karena ia tidak saja menyangkut kebutuhan etis yang diinginkan manusia, seperti rasa aman, tetapi juga kebutuhan estetis; rasa nyaman dan keindahan. Nilai-nilai perdamaian seperti inilah yang secara eksistensial, sebenarnya telah menempatkan agama berada dalam wilayah transendental (the trancedent area); suatu wilayah yang sarat dengan nilai-nilai keilahian.
Di wilayah transendensi ini pula nurani manusia didorong untuk selalu mencari kebenaran ilahiah yang menjadi tujuan hidup yang hendak diraihnya. Ketika kebenaran telah sebangun maknanya dengan nilai perdamaian, sebenarnya manusia telah memahami eksistensi dirinya sebagai makhluk religius. Inti eksistensi dirinya sebagai makhluk religius (homo religious) terletak pada kemampuannya untuk mau mewujudkan nilai-nilai perdamaian yang bersifat trensedental itu ke dalam wilayah imanen. Dengan ajaran dasar tentang perdamaian yang terdapat di masing-masing ajaran agama, maka suatu agama jika kehadirannya sama sekali tidak membawa nilai-nilai perdamaian, sebaliknya cenderung mengobarkan konflik, tentu ada sesuatu yang aneh dari ajaran agama yang bersangkutan ketika ia diamalkan pemeluknya.

Kalau sudah demikian logika yang dipedomani, mengapa agama-agama justru amat sulit mewujudkan secara total (kaffah) pesan dasar transedensinya tersebut ke dunia? Bahkan seringkali ia terperosok ke dalam jurang perselisihan yang menumpahkan darah, seperti yang terjadi di Palestina dan bahkan di Ambon? Adakah kita sebagai kaum beragama telah salah dalam memahami agama sehingga kearifan akal budi menghilang ketika keberagamaan kita justru terselubungi beragam kepentingan, seperti kekuasaan (politik), apalagi dalam momentum Pemilu saat ini?

Ada jawaban sosiologis yang menggoda untuk merespon pertanyaan di atas. Dalam konteks sosial, fenomena keagamaan yang terkesan paradoksal tersebut; berdamai sekaligus juga kehendak berkonflik ria merupakan gejala yang lazim-lazim saja dalam masyarakat agama (social religions). Geertz sendiri pernah menjelaskan hubungan agama dan masyarakat ternyata berada dalam dua wilayah relasi, yaitu struktural dan fungsional. Di wilayah struktural kehadiran agama dapat menjadi pemicu konflik. Tetapi sebaliknya perspektif fungsional melihat agama sebagai alat perekat (integrated). Ini berarti agama tidak semata-mata mendorong orang untuk hidup rukun dan damai sebagai bentuk dari pengejawantahan nilai-nilai integrasi, melainkan pula ia menjadi alat pemicu yang ampuh bagi timbulnya konflik, lebih-lebih jika agama berubah fungsinya menjadi kekuatan kepentingan (interst group).

Dengan demikian konflik dipandang sebagai hal yang wajar pula karena sejalan dengan watak dasar manusia yang menghendaki hidup dinamik. Levis A. Coser dalam bukunya yang berjudul The Function of Social Conflict mengungkapkan konflik itu positif sepanjang ia berada dalam tahapan perubahan (social change). Dengan konflik justru perubahan akan menghasilkan nilai-nilai integrasi baru yang lebih kokoh. Artinya konflik dapat melahirkan integarasi baru sebagai konsekuensi dari terjadinya perubahan dimana nilai-nilai integrasi lama mulai kehilangan daya ikatnya. Di sini nilai-nilai lama mulai ditinggalkan sekaligus digantikan oleh nilai-nilai baru.

Karena itu konflik justru dibutuhkan dengan tujuan untuk memelihara perdamaian itu sendiri; via pacem para bellum. Melalui jalan konflik, ekses kekerasan yang dikuatirkan mencuat bisa dihilangkan sehingga konflik sejalan dengan tujuan perdamaian yang hendak diwujudkan. Yang ditolak adalah ekses kekerasan yang ditimbulkan akibat konflik karena kekerasan bagaimanapun bertentangan dengan kebutuhan asasi manusia yang menginginkan hidup aman dan damai. Sedangkan konflik itu sendiri positif (baik) kerena sebangun dengan tujuan yang hendak diraih dari konflik itu, yakni terciptanya perdamaian.

Kendati demikian, dari struktur dan nilai-nilai sosial-keagamaan yang berlaku di masyarakat kita, agaknya pandangan yang menempatkan agama sebagai pemicu konflik lebih lebih dalam persaingan pemilu, tidak menemukan banyak pengikut. Bahkan pandangan ini ditolak sebagian besar masyarakat. Justru yang terjadi agama ditempatkan sebagai faktor penting munculnya integrasi. Agama dinilai sebagai pengawal kerukunan dan kedamaian hidup, terutama yang masih dianut masyarakat yang bertempat tinggal di kampung-kampung, desa-desa, dan di kota-kota kecil. Dalam konteks masyarakat seperti ini, kerukunan dan kedamaian hidup identik dengan ketentraman dan ketenangan suasana sosial.

Namun nilai-nilai kerukunan dan kedamaian hidup yang berlaku di masyarakat kita agaknya bertumpu pada pandangan dunia (worldview) tentang keseimbangan hidup yang dianut bangsa kita. Kehidupan ini harus berjalan seimbang; tidak berat sebelah, syukur dapat diintegrasikan menjadi satu kesatuan dari dua kekuatan mikro dan makrokosmos. Di sini makna kerukunan dan kedamaian diwujudkan dalam kesatuan integratif dari berbagai kekuatan yang berfungsi di masyarakat. Agama sebagai salah satu kekuatan masyarakat, sudah pasti berfungsi untuk menjaga kepentingan keseimbangan ini. Jika agama tidak menfungsikan dirinya seperti ini, maka agama akan teralienasi dari dunia sosial (politik)nya. Padahal kalau agama telah mengalami keterasingan (alienation), kehadirannya akan menciptakan ketegangan-ketegangan yang sebenarnya tidak dicita-citakan oleh agama itu sendiri.

Oleh sebab itu dengan fungsi perekat sosial, peran agama –apapun agamanya-- diharapkan mampu berdialog mencari titik-temu (kalimatun sawa’) untuk membangun solidaritas yang kukuh. Namun solidaritas yang dibangun tidak akan kukuh dalam arti bertahan kekal kalau tidak disertai landasan etika. Karena itu masyarakat yang pluralitas agamanya tinggi seperti di Indonesia ini, upaya mencari titik-temu agama mesti diarahkan untuk mengembangkan etika bersama sebagai fondasi dari solidaritas integratif yang hendak diciptakan. Wallahu A’lamu

Titik temu tersebut bisa diwujudkan dalam bentuk rumusan etika bersama dalam menentukan aturan main di setiap kerja-kerja sosial (politik) yang dilakukan diantara agama-agama itu sendiri dengan mencari nilai-nilai persamaannya yang sudah pasti ada di setiap agama, seperti mengatur bagaimana perdamaian itu bisa kekal. Dengan etika bersama (global social ethic) tersebut, maka seluruh kepentingan dan tujuan di masing-masing agama dapat diatur untuk menopang ordo sosial (politik) yang tertib dan damai sesuai dengan esensi dasar semua ajaran agama itu sendiri yang menghendaki terciptanya perdamaian abadi. Pertanyaannya kapan para tokoh agama kita akan mengkonkretkannya, tidak asyiik masyuk dalam politik yang memabukkan? Wallahu a’lam.

WACANA 10


BERKONFLIK DITENGAH KEBEBASAN BERAGAMA
Kasus SKB 2 Menteri

Oleh : Masroer Ch. Jb.


Masalah kebebasan beragama selalu menjadi wacana yang menarik sekaligus menimbulkan ketegangan bagi hubungan antaragama. Daya tarik sekaligus ketegangan yang ditimbulkan oleh kebebasan beragama (freedom of religion) terletak pada dikaitkannya masalah ini dengan persoalan hak asasi manusia yang kini, menjadi komitmen etis di hampir semua negara di dunia dan juga telah diratifikasi oleh Pemerintah Indonesia. Karena itu, di setiap timbul persoalan hubungan antaragama yang berbentuk relasi diskriminatif di suatu negara, misalnya akan selalu dihakimi oleh masyarakat dunia sebagai bagian dari pelanggaran terhadap hak-hak dasar manusia. Urusan agama dan keberagamaan yang dijalani orang beriman, dengan demikian bisa menjadi pemicu munculnya pelanggaran hak asasi manusia (human rights). Padahal pelanggaran terhadap hak asasi manusia sama saja artinya dengan tindak kejahatan terhadap kemanusiaan. Dan itu secara teologis, dosanya luar biasa besar bagi yang melakukannya!
Orang memaksakan diri mendakwahkan agamanya di lingkungan masyarakat yang menolak didakwahi, misalnya juga dapat dihukumi melanggar hak asasi manusia, terutama hak-hak individu atau kelompok untuk berbicara dan mengeluarkan pendapat yang berbeda. Begitu pula pembongkaran paksa terhadap tempat ibadah, seperti yang dialami di sejumlah masjid milik jemaah tertentu, juga dapat dinilai sebagai pelanggaran terhadap hak asasi manusia.
Ini menunjukkan masalah kebebasan beragama sebenarnya selalu terkait dengan tarik menarik diantara wajah agama yang mendua, yaitu agama yang berwajah dakwah atau misionarisme di satu sisi, dan di sisi lain wajah agama yang bersemangatkan dialog dan kerukunan. Karena itu masalah kebebasan beragama dalam prakteknya kerap mendorong munculnya ketegangan bahkan konflik, jika ada dua agama yang memiliki kepentingan yang sama; berdakwah sekaligus berdialog dengan agama lain, misalnya bertemu di tempat dan dalam waktu yang bersamaan, apalagi dalam iklim religius yang dibebaskan. Sulit memisahkan ketika seorang rohaniawan (pendeta) sedang berdialog agama di wilayah publik, sebenarnya ia murni berdialog atau disertai dengan motivasi berdakwah. Sebaliknya juga sukar rasanya membedakan seorang kiai atau dosen yang sedang berdakwah, ia sebenarnya betul-betul berdakwah atau memang sedang berdialog dengan dalil-dalil epistemologinya, apalagi jika materinya menyangkut dialog agama. Dua wajah dari semangat agama itulah yang sebetulnya menjadi inti persoalan yang diperdebatkan dalam wacana kebebasan beagama.
Di Indonesia masalah kebebasan beragama, pada awalnya dihubungkan dengan masalah kerukunan beragama, namun istilah itu kemudian bergeser menjadi kebebasan beragama, dan itu pun dalam pengertian yang tidak tunggal lagi. Kini, masalah kebebasan beragama di Indonesia telah ditafsirkan sedemikian plural, bahkan liar.
Oleh karena itu kita tidak perlu merasa terkejut –sekalipun itu menyakitkan, jika kebebasan beragama juga dapat diartikan sebagai kebebasan untuk berpindah agama. Jadi orang berperilaku murtad yang selama ini merupakan sikap keberagamaan yang dipandang paling menyakitkan dan dibenci oleh orang beriman, malah dipersepsikan sebagai sikap positif dan sejalan dengan semangat kebebasan beragama. Padahal dalam hukum Islam klasik, orang murtad dapat dihukumi dengan sanksi pidana mati. Demikian pula dalam semangat yang sama namun dalam bentuk yang berbeda, di Kerajaan Kristen Spanyol zaman dahulu, orang malah disuruh untuk murtad. Kalau tidak, ia akan dihukum bunuh atau diusir dari tempat tinggalnya yang didominasi umat Kristiani itu.
Dalam konteks perkembangan dunia global yang kian menyatu (global village) sekarang, kebebasan beragama juga ditafsirkan dalam konteks yang lebih jauh lagi, yakni kebebasan untuk tidak beragama, seperti yang terjadi di negara-negara maju semisal Amerika, Inggris, dan Perancis. Di Amerika dan Perancis, misalnya orang atheis dan atau orang tidak beragama malah lebih dihormati ketimbang orang Islam; ironis dan tidak adil memang!
Sementara dalam konstitusi negara kita yang selayaknya kita patuhi, yaitu dalam klausul UUD 1945 Pasal 29 ayat 2, kebebasan beragama justru ditafsirkan sebagai “…kemerdekaan setiap penduduk untuk beribadah sesuai dengan kepercayaan dalam ajaran agamanya masing-masing”. Ini artinya kebebasan beragama dimaknai dalam konteks bahwa setiap warga negara Indonesia diberikan kebebasan menjalankan ibadah dan meyakini agamanya.
Masalahnya yang hendak dipersoalkan di sini adalah apakah kemerdekaan (baca: kebebasan) beragama di setiap warga negara yang menjalankan ibadah dan memeluk suatu agama itu hanya dibolehkan secara individu atau juga kolektif? Jika kebebasan warga negara untuk memeluk agama dan menjalankan ibadahnya, juga dibenarkan secara kolektif, maka dengan begitu setiap kelompok agama diberikan kebebasan untuk berdakwah. Karena berdakwah toh menjadi bagian dari menjalankan ibadah dan keyakinannya. Kalau orang bebas berdakwah sudah pasti pada gilirannya orang juga akan bebas untuk mendirikan tempat ibadah di mana pun ia suka-suka. Karena bagaimana pun tempat ibadah tidak sekedar berfungsi sebagai tempat melaksanakan ritual dan kebaktian pribadi, tetapi juga berfungsi sebagai sarana menyiarkan ajaran keagamaannya alias menjadi markas dakwah (markaz al-da’wah).
Dalam konteks revisi SKB 2 Menteri (Menteri Dalam Negeri dan Menteri Agama) baru-baru ini, misalnya isu kebebasan beragama agaknya juga dihubungkan dengan masalah kebebasan mendirikan tempat ibadah. Dalam kasus ini, isu kebebasan beragama yang diwacanakan, khususnya antara kelompok Islam dengan Kristen terlihat menimbulkan perdebatan yang sengit sehingga menjadi polemik berkepanjangan bahkan konflik karena adanya motivasi kedua belah pihak untuk berusaha saling mengalahkan demi menggoalkan kepentingan religiusnya masing-masing, agar ditetapkan sebagai aturan resmi dalam klausul SKB 2 Menteri itu. Di sini antara pihak Islam dengan non Islam berusaha saling memaksakan tafsir tunggal atas makna kebebasan beragama dalam arti kebebasan membangun tempat ibadah. Dari sejumlah media massa nasional yang sempat kita lihat dan baca, rupanya kedua agama tersebut terus saling beradu argumentasi dan saling mendesakkan kepentingannya masing-masing untuk menguasai wacana publik agama di Indonesia. Akibatnya yang terjadi kemudian masalah kebebasan beragama yang diperdebatkan itu malah jatuh ke dalam konflik kepentingan dari masing-masing agama, sehingga mereka telah kehilangan ketulusannya dalam beragama.
Masalahnya yang hendak didiskusikan di sini adalah apakah tafsir kebebasan beragama hanya bergulat dengan masalah kebebasan berdakwah yang menjadi agenda pokok semua agama di Indonesia? Dan adakah sebuah peraturan yang mengatur kebebasan beragama dan atau kebebasan membangun tempat ibadah benar-benar merupakan peraturan yang membebaskan? Lagi pula apakah ada di dunia ini sebuah peraturan atau hukum (kanonik) itu berfungsi untuk membebaskan? Jadi wacana kebebasan beragama, dan hukum kebebasan beragama jelas dua persoalan yang berbeda dan tidak dapat dicampuradukkan….  
Artikel Opini pertama kali dimuat di Harian Kedaulatan Rakyat, April 2006

WACANA DELAPAN



PARADIGMA PENELITIAN SOSIAL-AGAMA
Oleh: Masroer Ch. Jb.[1]

Untuk bersungguh-sungguh melaksanakan penelitian ke lapangan itu dapat dikatakan gampang-gampang susah. Disebut gampang-gampang susah karena di satu sisi orang yang setiap harinya telah bergelut dengan agama di tengah-tengah kehidupan masyarakat, sedikit banyak ia sebenarnya telah terlibat mengakses informasi, baik melalui media percakapan, mimbar resmi maupun pengamatan terlibatnya ketika menjumpai masyarakat yang digaulinya. Akses informasi dari hasil pergaulan dan bahkan pergumulannya di masyarakat yang diperoleh dengan gampang itulah yang bisa dipakai sebagai data-data otentik yang kelak diolah untuk dijadikan bahan laporan kegiatan keagamaannya di masyarakat.
Dari situ, sebenarnya orang sedang melakukan langkah awal sebuah penelitian, jika memang hal itu dapat disamakan dengan aktivtas penelitian. Karena itu, orang dengan posisi dan profesi apapun ketika bermasyarakat sebenarnya ia telah mengolah informasi menjadi data yang itu semua dapat dianalogikan sebagai tindakan penelitian. Namun di sisi lain susahnya, tidak semua orang yang melakukan tindakan yang mirip penelitian itu disebut sebagai peneliti. Ada kriteria utama yang harus ia pegangi untuk menjadikan dirinya sebagai peneliti yang pofesional, yaitu langkah-langkah intelektual yang terencana dan sistematis sekaligus metodologi yang dapat dipertanggungjawabkan secara akademis, guna mendapatkan kesimpulan penemuan dari masalah yang digelutinya. Salah satu langkah inteletual (ilmiah) yang terencana dan sistematis dalam melaksanakan tindakan penelitian itu ialah memulainya dengan menentukan paradigma apa yang seharusnya diputuskan ketika ia hendak terjun ke dunia penelitian yang diminati.

Paradigma menjadi penting karena ia menjadi dasar berpikir dan gagasan besar (grand idea) seorang peneliti ketika hendak melaksanakan penelitian. Paradigma dapat dipakai pula sebagai pedoman dasar atau arah mau ke mana penelitian yang sedang dilakukan itu difokuskan untuk mendapatkan kesimpulan-kesimpulan maupun menentukan metodos yang digunakannya. Untuk itu peradigma menjadi hal yang paling vital dipegangi karena ia sebenarnya menjadi landasan berpikir (fundamental of mind) peneliti ketika hendak terjun ke lapangan yang dijadikan subyek atau obyek penelitian yang hendak dilakukan. Lalu masalahnya kemudian paradigma apa yang seharusnya dipakai si peneliti ketika hendak melakukan penelitian di lapangan? Lebih-lebih penelitian yang menyangkut masalah-masalah sosial-keagamaan?

Untuk menjawab pokok pernyataan yang ditanyakan itu, tidak bisa tidak kita harus mengetahui dahulu apa yang dimaksud dengan penelitian sosial keagamaan dan bagaimana bidang-bidang yang semestinya dipersoalkan. Secara simplistik, penelitian sosial keagamaan dalam benak pikiran kita dapat diartikan sebagai penelitian yang menyangkut hubungan-hubungan agama di masyarakat atau persoalan-persaolan sosial yang berhubungan dengan agama. Jadi kita sebagai peneliti di bidang seperti ini sebenarnya sedang merumuskan masalah-masalah yang terjadi dalam masyarakat beragama. Sudah pasti, semua masyarakat di Indonesia yang menjadi subyek penelitian kita adalah masyarakat yang beragama karena memang semua individu yang hidup berkelompok di negeri ini secara politik diharuskan untuk beragama --sejelek atau sebaik apapun agama yang dijalaniya-- sekaligus diharamkan pula beratheis alias tidak beragama atau ber-pseudo agama. Ini berarti semua orang Indonesia itu memang telah beragama, bahkan sejak lahir sudah beragama, seperti yang ditunjukkan dari kartu kepemilikan keluarga (KK) yang dikeluarkan oleh pemerintah desa atau kecamatan or kabupaten, misalnya. Namun sekali lagi, sudah barang tentu masyarakat yang beragama tersebut dalam kebergamaannya juga melahirkan problem-problem keagamaan yang khas secara sosiologis, seperti yang dicontohkan dari bukti kepemilikan KK bagi bayi dan anak-anak tadi.

Dalam konteks masyarakat beragama seperti itu, sebenarnya penelitian sosial keagamaan bertumpu pada adanya relasi timbal balik antara agama dan masyarakat serta akibat yang ditimbukannya dari relasi itu. Dan ini tentu saja memerlukan pemahaman yang benar bagaimana agama yang menjadi dasar iman seseorang yang diwahyukan oleh Tuhannya ternyata ketika dilihat dalam praktek-praktek kolektif dan individualnya di masyarakat selalu menciptakan persoalan-persoalan sosial yang menarik dan menantang untuk diteliti.
Di sinilah pemahaman dasar kita dalam mempesepsikan penelitian sosial keagamaan sebetulnya berhubungan dengan iman yang bersifat dokmatik kebenarannya di satu sisi, dengan ilmu kemasyarakatan (sosial science) yang bersifat relatif kebenarannya di sisi lain, dicoba digumulkan dalam satu masalah yang hendak diteliti.

Untuk itu pemahaman yang seperti inilah yang merangsang almarhum Profesor Mukti Ali mengagas bangunan paradigmatik penelitian (social-agama) yang berbasis saintific cum doctrinair. Jadi penelitian yang dilakukan menurut Mukti Ali dari paradigma yang dibangunnya itu, tidak hanya dimulai dengan melihat persoalan-persoqlan agama yang timbul di masyarakat dari sudut pandang ilmu pengetahuan ilmiah yang kebenarannya relatif un sich dalam arti dapat diperdebatkan bahkab digugurkan, melainkan harus melibatkan iman yang bersifat dokmatik si peneliti sekaligus subyek penelitiannya, terutama ketika menganalisis persoalan-persoalan tersebut.

[1] Disampaikan dalam Pelatihan Penelitian Sosial Agama Centre for Interreligious Studies (CIRES) Yogyakarta, Jum’at 16 Maret 2007.

WACANA EMPAT

timbangan buku

HISTORY OF JAVA : SEJARAH PERJUMPAAN AGAMA2 DI JAWA

Oleh : Masroer Ch. Jb

B A G I A N P E N D A H U L U A N

Pertanyaan awal mengenai apa itu arti sejarah, dapat dicari jawabannya dengan mudah kalau dilacak dari akar kata (terminologi) sejarah itu sendiri. Dari sisi etimologi terungkap bahwa kata sejarah bukan kata dasar yang berasal dari bahasa asli (indegenous), seperti bahasa Jawa, Minang, atau Indonesia, bukan pula dari bahasa asing serumpun Eropa, seperti bahasa Inggris, tetapi ia terambil dari kata Arab yang terserap ke dalam kata Indonesia; syajaratun yang berarti pohon. Berbeda dengan bahasa Inggris yang menamai sejarah dengan kata history yang berarti bukan cerita (khayalan); atau fakta.

Dari pengertian asal usul kata Arab tersebut, dapat disimpulkan sejarah diartikan sebagai pohon hidup, yang dimulai dari biji yang ditanam, akar yang tumbuh, batang yang meninggi, cabang yang mengembang, ranting yang menyebar sampai ke dahan yang patah tumbuh hilang berganti. Sejarah ibarat sebatang pohon, ia memiliki pola gerak secara bertahap dari tumbuh meninggi ke berkembang. Pola gerak dari tumbuh dan berkembang inilah yang menjadikan makna peristiwa sejarah berintikan sebagai suatu perubahan (change). Esensi sejarah adalah peristiwa perubahan itu sendiri. Sedangkan perubahan itu bisa bermakna ganda; yaitu pergantian dan pergeseran. Dalam sejarah, perubahan bisa berarti pergantian dari yang lama ke yang baru; yang lama hilang muncul yang baru, bisa pula dimaknai pergeseran dari yang kuno ke yang paling mutakhir, dan kembali ke kuno lagi; dari tempat di sebelah kiri bergeser ke sebelah kanan dan kembali lagi bergeser ke tempat sebelah kiri, dan seterusnya begitu.

Sejarah dapat juga didefinisikan sebagai peristiwa lampau, tetapi tidak semua peristiwa lampau dapat dikategorikan sebagai peristiwa sejarah. Peristiwa sejarah mempunyai karakteristik dasar yang unik (unique history) dan hanya terjadi sekali. Dalam arti sebagai peristiwa masa lalu sejarah memiliki dimensi temporal yang sangat penting, yaitu lampau, kini, dan mendatang.[1] Jika masa lampau dapat diketahui maknanya, maka sejarah dapat menjadi guru yang baik guna memahami masa kini dan memproyeksikan masa depan.

Oleh karena itu ketika makna sejarah dapat dipahami, maka ia telah mendidik kita dengan berbagai sajian kebenaran dan kesalahan, yang kesemuanya dapat diambil sebagai pelajaran berharga bagi perbaikan dan keberhasilan hidup di masa mendatang[2]. Mendiang Presiden Soekarno; mantan pemimpin besar revolusi Indonesia yang kesohor itu pernah menegaskan pentingnya mengambil pelajaran dari peristiwa sejarah. Ia mengingatkan kepada pengikut-pengikutnya yang setia agar jangan sekali-kali meninggalkan sejarah; Jasmerah! Al Qur'an pun yang diimani sebagai firman Tuhan yang di bawa oleh Nabi Muhammad SAW lebih dari seribu empat ratus tahun yang lalu sudah berpesan demikian; "....hendaklah setiap diri mengambil pelajaran dari apa yang telah diperbuat dalam sejarahnya untuk bekal hari esok..."[3].

Persoalannya lantas peristiwa sejarah yang memiliki dimensi temporal tersebut apakah bergerak mengikuti garis linear atau sirkular? Di sini makna dimensi waktu dalam kehidupan menjadi faktor yang menentukan ketika memahami peristiwa sejarah. Bagi kehidupan orang Jawa, misalnya waktu itu dimengerti seperti air danau yang tidak diketahui dari air itu bersumber, dan akan ke ujung mana air itu mengalir, tanpa pangkal dan ujung atau ia tidak bermuara sama sekali. Karena itu gerak kehidupan dengan dimensi waktu yang menyertainya merupakan proses yang berputar-putar. Dengan begitu bagi orang Jawa, peristiwa sejarah akan dipahami berbeda dengan apa yang terdapat di belahan dunia Barat atau Arab. Peristiwa sejarah yang menyangkut kehidupan manusia diibaratkan seperti gerak roda yang melingkar. Ia adalah cakra manggilingan (roda yang berputar). “Hidup itu lho mas seperti mengikuti roda yang berputar, kadang-kadang kita di atas, kadang pula berada di bawah”, begitulah yang seringkali terdengar jika orang Jawa sedang memberi nasehat kepada tetangga dekatnya.

Demikian pula bagi kebanyakan orang Islam di Jawa, mereka memahami sejarahnya seperti peristiwa kehidupan yang terjadi secara berulang-ulang. Sejarah bergerak melingkar (circular), dengan ujung dan pangkal yang sama, tanpa akhir. Lingkaran kehidupan, yakni lahir, hidup, dan kematian manusia, semuanya telah ditetapkan sebagai suratan takdir.[4] Lingkaran kehidupan ini harus diterima apa adanya sebagai nasib yang telah ditentukan oleh kekuatan yang berkuasa atas dirinya. Karena itu tidak perlu ada perubahan dalam dirinya; yang penting nasib dijalani sebagaimana mestinya. Kalau toh ada perubahan, ia harus mengharap (njagakke) perubahan itu datang dari kekuatan di luar dirinya, sebab jika perubahan itu muncul dari kehendak dalam dirinya sendiri, tentu saja akan dianggap sebagai hal yang buruk karena dianggap melawan takdir.

Untuk itu dalam penulisan ini, rekonstruksi suatu peristiwa sejarah dalam perspektif Jawa akan digunakan sebagai pendekatan (approach). Tetapi pendekatan ini memiliki kelemahan, diantaranya pertama, peristiwa sejarah tidak mengalami periodisasi, akibatnya tidak muncul pemaknaan yang progresif melainkan statis. Peristiwa sejarah berjalan stagnan ibarat sebarisan orang yang sedang berjalan di tempat; bergerak tetapi tidak maju-maju. Jalan di tempat….grak! Kedua, perjalanan hidup manusia yang sebenarnya merupakan kreasi sejarah yang dianugerahkan oleh Tuhan, dianggap sebagai nasib yang mesti diterima dengan sikap fatalistik (nerimo), pasif (berdiam diri; anteng), dan pesimistik (berorientasi ke belakang; masa lalu)

Oleh karena itu pendekatan periodisasi sejarah menurut Kuntowijoyo[5] akan dipakai untuk mengatasi kelemahan itu. Dengan mengacu model sosiologi pengetahuan, ia telah merekonstruksi sejarah orang-orang Islam di Jawa dengan menggunakan pendekatan periodisasi. Periodisasi ini terbagi menjadi tiga fase, yaitu fase mitos, ideologi, dan terakhir fase ide atau ilmu. Pada fase mitos dimulai dari awal mula kedatangan agama Islam sampai berakhirnya tahun 1800-an Masehi dengan ciri-ciri kehidupan religio-mitos. Di sini kehidupan agama, baik menyangkut doktrin, ritus, maupun ide-ide keagamaan masih diselimuti mitos. Ini berarti mitos sesuai dengan tingkat kehidupan orang Jawa pada waktu itu memiliki fungsi yang efektif sebagai cara untuk memperteguh keyakinan religius. Mitos itu dipakai oleh para pemimpin agama untuk menyampaikan ajaran religiusnya yang dikemas dalam bentuk cerita-cerita eksotik sehingga iman para pengikutnya pun bertambah tebal dibuatnya.

Kehidupan agama yang diselimuti mitos biasanya dinampakkan melalui praktik-praktik keagamaan yang irrasional (tidak masuk akal), tetapi memiliki fungsi yang rasional. Keris yang diyakini mampu memadamkan kebakaran rumah, misalnya sebagian orang Jawa mempunyai cara yang tidak masuk akal dalam menghormati dan mensakralkan benda yang terbuat dari besi atau baja itu sebagai barang keramat sampai memandikan dengan air yang ditaburi kembang segala. Tetapi cara-cara memperlakukan keris yang tidak rasional itu ternyata memiliki fungsi yang masuk akal, misalnya sebagai perlambang yang menunjukkan ketinggian status sosial si pemilik di mana komunitasnya memang masih membutuhkan lambang seperti itu dalam mengukur tinggi rendahnya status sosial individu dalam masyarakat, atau sekadar identitas (jatidiri) kultural bagi pemiliknya guna menyesuaikan dengan lingkungan di mana ia bertempat tinggal.

Adapun fase kedua dimulai dari munculnya semangat baru akan tercapainya harapan apa yang disebutnya 'teokratisme yang menolak ciri sekularisme', yang dimulai dari masa-masa menjelang kemerdekaan sampai pertengahan era Orde Baru. Dalam periode ini pula agama berfungsi sebagai ideologi sosial yang bersifat responsif (religio-ideologis). Ini berarti kehidupan agama masih bersifat ideologis karena ia menjadi salah satu faham (isme) yang mengandung seperangkat nilai dokmatik yang terstruktur lewat simbol maupun atribut keagamaan yang terlembagakan. Isme agama ini kemudian digunakan sebagai alat untuk mengatur tindakan dan perilaku keagamaan seseorang dalam mencapai tujuan ideologi yang dicita-citakan dalam setiap propaganda gerakan yang dilakukannya.

Dan fase ketiga dicirikan dari berpalingnya era yang bersifat ideologis ke bentuk praksis; suatu kronologi munculnya spirit keagamaan yang beridentitas urban. Fase ini ditandai dengan penempatan peran agama sebagai agent of progress bagi perkembangan ilmu pengetahuan (religio-akademis). Peran agama telah bergeser dari fungsi mitos dan ideologi ke pemberi spirit bagi kemajuan ilmu pengetahuan itu sendiri. Problematikanya dalam fase ini adalah menjadikan agama tidak hanya sebagai rumusan iman yang didokmakan, melainkan sebagai tradisi keilmuan yang tidak akan final. Terjadi ketegangan akibat pegumulan antara iman dengan ilmu pengetahuan yang tidak jarang menghasilkan perubahan yang menegangkan. Rumusan iman yang bersifat final dan absolut bersitegang dengan rumusan ilmu pengetahuan yang bersifat dinamis dan relatif.

Dengan mengambarkan pada pola keagamaan yang mistis, ideologis, dan syari’at dalam kehidupan orang-orang Islam di Jawa, setidaknya monograf ini akan bermanfaat. Salah satu manfaat yang dapat dipetik ialah dapat memberi gambaran yang utuh bagaimana sejarah perjumpaan antara Islam dan agama-agama berlangsung di tengah hegemoni kebudayaan Jawa yang terus berubah dan akibat yang ditimbulkannya dalam arus pusaran sejarah nasional Indonesia.

Gambaran dari uraian ini diharapkan dapat mencapai sasarannya, dalam arti memberi argumen-argumen yang bersifat historis kritis dalam mencermati katerkaitan anatara agama dengan perubahan sosial-budaya yang dibangun di atas dasar tiga tahapan perubahan sejarah sosial di Jawa. Tiga tahapan perubahan itu --sebagaimana dituturkan oleh Prof. Selo Sumardjan--didahului dari proses integrasi, disintegrasi sampai berakhir ke tahap integrasi baru. Dari harmonisasi lama, konflik sampai munculnya harmonisasi baru. Sebagai sistem sosial yang memiliki daya lentur yang tinggi dalam menghadapi berbagai cuaca dan iklim perubahan, Jawa merupakan suatu kawasan 'ketegangan' yang terus menerus bersifat hegemonik dalam konteks pembentukan kebudayaan Indonesia yang kini tengah berlangsung…. SELAMAT MEMBACA BUKUNYA….



[1] Djumarwan, Relevansi Metodologi antara Ilmu Sejarah dengan Ilmu Ilmu Sosial, dalam Jurnal INFORMASI (Yogyakarta: Yayasan Penerbit FPIPS IKIP Yogyakarta, No.2. Th XXII, 1994) 2.

[2] Ibid.

[3] QS 59 : 18.

[4]Pandangan seperti ini telah mengakibatkan orang-orang Jawa –dan mungkin masyarakat Melayu di Nusantara-- cenderung memiliki pendangan hidup yang berorientasi masa lalu daripada masa depan, atau masa depan itu sama seperti masa lalunya. Hal ini juga disebabkan oleh pandangan tentang waktu yang dekat dengan Hinduisme, walaupun kebanyakan mereka beragama Islam. Bandingkan, Simuh, Sufisme Jawa: Transformasi Tasawuf Islam ke Mistik Jawa (Yogyakarta: Bentang Budaya, 1996), 131.

[5] Kuntowidjoyo, Dinamika Sejarah Umat Islam Indonesia (Yogyakarta: Salahuddin Press, 1994), 29.

WACANA SATU


MEMPERSOALKAN HAKIKAT DAN ASAL-USUL (ILMU) SOSIOLOGI AGAMA

Oleh : Masroer Ch. Jb.

A. Pendahuluan

Melalui sub tema ini akan dijelaskan studi sosiologi agama sebagai ilmu pengetahuan yang memiliki dasar epistemologinya tersendiri yang bertumpu pada kebenaran ilmiah empiris dalam melihat fenomena agama. Karena tujuan sosiologi agama berpusat pada pengkajian interaksi antara agama dan masyarakat sebagai fakta sosial yang bergerak dengan hukum-hukum sosialnya yang bersifat empiris. Maka uraian selanjutnya akan terkait dengan respon dari pertanyaan pokok mengenai bagaimana kedudukan ilmu ini di tengah perkembangan ilmu pengetahuan kontemporer? Apakah berdiri sendiri secara otonom atau studi sosiologi agama berjalin kelindan (terkoneksi) dengan ilmu pengetahuan lain sehingga membentuk the body of knowledge tersendiri?

B. Hakikat dan Asal Usul

Untuk merespon pertanyaan pokok tersebut dapat ditelusuri dari adanya silang pandangan sejumlah pakar yang menempatkan kedudukan sosiologi agama sebagai ilmu pengetahuan terkait erat dengan tiga disiplin ilmu pengetahuan yang berkembang saat ini, khususnya di lingkungan perguruan tinggi Islam (UIN), yaitu 1) pandangan yang menempatkan sosiologi agama sebagai bagian dari ilmu-ilmu keislaman (Islamic studies), 2) pandangan yang menempatkan sosiologi agama sebagai bagian dari ilmu-ilmu agama (religious studies), dan 3 pandangan yang menempatkan sosiologi agama sebagai bagian dari studi sosiologi atau ilmu sosial (social science). Dengan menggabungkan tradisi keilmuan yang tumbuh dari warisan Dunia Islam di masa lampau dan perkembangannya di Dunia Barat saat ini, ketiga disiplin ilmu pengetahuan itu akan diuraikan secara umum untuk memperoleh kepastian simpulan dari persoalan mengenai bagaimana perkembangan sosiologi agama sebagai ilmu pengetahuan bergelut dengan sejarahnya sendiri, dan sejauhmana interaksi epistemologinya dengan ilmu pengetahuan lain.

Dalam sejarah ilmu di Dunia Barat, sosiologi agama merupakan cabang dari ilmu-ilmu sosial (sosiologi) yang lahir sesudah perkembangan ilmu pengetahuan alam. Oleh karena itu pendekatan yang digunakan untuk pertama kalinya dalam studi ini adalah empirisme (positivistik).[1] Pendekatan empirisme ini, apabila dilihat dari perkembangan sejarah ilmu diambil dari pendekatan yang digunakan dalam ilmu pengetahuan alam, yaitu ilmu fisika di mana masyarakat diamati sebagaimana mengamati benda-benda alam yang dapat dketahui proses, struktur dan perubahan-perubahan konstannya di sepanjang masa, sehingga kemudian menghasilkan teori-teori atau hukum-hukum sosial yang tetap, seperti hukum gravitasi.

Oleh karena itu studi sosiologi untuk pertama kalinya disebut oleh Auguste Comte (1798-1857) sebagai ilmu fisika sosial. Sehingga, tidak heran jika pada masa awalnya, masyarakat dengan segenap keyakinannya dilihat sebagai sebuah struktur (wujud) benda-benda alam yang memiliki fungsi dan proses pergerakannya yang bersifat mekanistik (hukum kausalitas) dan generalisasi. Bahkan, pengaruh ilmu pengetahuan alam, terutama juga dari ilmu biologi (evolusioner) memunculkan kesimpulan lain bahwa masyarakat dengan segenap keyakinannya itu dilihat sebagai organisme sosial seperti organisme makhluk hidup yang memiliki ciri-ciri fisik, fungsi, proses jaringan organismenya yang bekerja secara tersistem, seperti yang dikemukakan oleh Herbert Spencer (1820-1903) dan kemudian dikembangkan oleh Talcott Parsons dan Robert K. Merton dengan pendekatan sosiologi fungsionalisme strukturalnya. Dari sini kita dapat menyimpulkan karakteristik awal sosiologi agama sebagai ilmu pengetahuan sosial terletak pada pendekatan empirisme yang digunakannya dalam menerangkan hubungan agama dan masyarakat sebagai fakta sosial yang bersifat mekanistik (hukum sebab akibat), sebagaimana kebenaran ilmu yang diperoleh dari ilmu pengetahuan alam.

Di Dunia Islam, sosiologi agama sebagai sutau pendekatan ilmu pengetahuan Islam (dirasah Islamiyah), sebenarnya telah dirintis oleh Abdurrahman Ibnu Khaldun (1334-1406) dalam bukunya Muqaddimah. Ia telah menganalisis secara empiris sebab-sebab atau hukum-hukum sejarah sosial keruntuhan sebuah peradaban yang dibangun masyarakat Islam masa lampau, khususnya di Spanyol dan Afrika utara. Ia juga menjelaskan ciri-ciri masyarakat pedesaan (nomaden), masyarakat perkotaan (menetap), masyarakat industri (pertukangan) masyarakat politik (khilafah). Begitu pula Ibnu Jarir al-Thabari dalam bukunya, Tarikh al-Umam wa al-Muluk yang mendeskripsikan secara empiris perkembangan sejarah masyarakat dan kepemimpinan Islam di masa lampau.

Dalam konteks Islam di Indonesia, cikap bakal sosiologi sebagai ilmu pengetahuan empiris telah diterapkan dalam kajian Islamic Studies, di mana Islam dipelajari dalam perspektif empririsme. Karena itu Prof. Amin Abdullah telah memetakan pendekatan studi Islam yang digunakan di perguruan tinggi Islam selama ini terbagi dalam dua ranah, yaitu historis (empiris) dan normatif (doktriner). Di wilayah empiris-historis inilah ilmu-ilmu keislaman menemukan pendekatannya yang baru, seperti ilmu tafsir dengan asbabun nuzulnya, ilmu hadits dengan asbabul wurudnya, fikih, dan lain-lain.

Oleh karena itu karakteristik sosiologi agama sebagai bagian dari studi Islam terletak pada bagaimana mempelajari secara empiris, yakni agama Islam sebagai obyek kajian utama studi Islam yang diletakkan tidak semata-mata dalam pengertian doktrinal, melainkan fakta empirisnya.

Dari sinilah studi sosiologi agama sebagai bagian dari studi Islam menemukan ralevansi etis dan epistemologisnya untuk dipakai menganalisis dan memecahkan problem-problem sosial yang dihadapi umat Islam ketika dikaitkan dengan ajaran agamanya (normatif), sehingga menghasilkan pemecahan masalah yang tidak berpola doktriner un sich. Pendekatan empiris atau historis seperti inilah yang akan menjadikan studi Islam berwajah humanistik; karena kebenaran dari pernyataan yang diwahyukan dalam kitab suci itu dikontekstualisasikan pelaksanaannya di lapangan berdasarkan karakteristik manusia pemeluknya yang berbeda-beda. Begitu pula dalam ilmu tafsir, untuk memahami sebuah ayat al-Qur’an, kita tidak dapat langsung memahami artinya secara utuh jika kita hanya bersandar pada pemahaman arti teksnya. Untuk itu diperlukan kontekstualisasinya dengan memakai pendekatan empiris, khususnya dalam ilmu asbabun nuzul. Dari asbabun nuzul yang bersifat empiris inilah, akan dapat diketahui latar belakang sosial dan sejarah, mengapa suatu ayat al-Qur’an diturunkan oleh Allah dan bagaimana relevansinya dengan dunia kekinian.

Dalam konteks sosiologi agama sebagai bagian dari studi agama (agama) dapat diketahui dari rintisan Prof. Mukti Ali ketika mendirikan Jurusan Perbandingan Agama di Fakultas Ushuluddin UIN Sunan Kalijaga. Di jurusan ini, pengembangan keilmuan sosiologi agama diterapkan sebagai salah satu pendekatan dalam studi agama, selain pendekatan antropologi dan psikologi. Dalam perspektif ini, interaksi agama dan masyarakat dipelajari dalam konteks penggabungan studi agama dan studi sosiologi yang secara struktural kedudukan ilmu sosiologi menjadi alat bantu (ilmu alat), bahkan melebur (berintegrasi) ke dalam studi agama yang dapat dimanfaatkan untuk mempelajari fenomena agama (agama). Dengan paradigma saintific cum doctrinair-nya, Prof. Mukti Ali mencoba memadukan hubungan antara fakta-fakta sosial agama yang bersifat empiris dengan ajaran agama yang kemudian dipakai untuk mengukuhkan doktrin kepercayaan suatu agama. Jadi posisi studi sosiologi agama di sini hanya menjadi ilmu alat yang digunakan untuk mengembangkan studi agama sekaligus mengabdi bagi kepentingan doktrin agama, sehingga agama tidak sekedar dipahami sebagai realitas faktual murni yang netral (baca: bebas) dari pretensi nilai-nilai religius dan keimanan.

C. Perkembangan

Namun dalam perkembangan epsitemologinya, munculnya banyak pendekatan pada studi sosiologi agama mendorong ilmu ini bergeser menjadi ilmu yang berusaha berdiri sendiri, bahkan telah berkembang menjadi nama program studi atau jurusan di berbagai perguruan tinggi. Kini perkembangan studi sosiologi agama, agaknya terus bergerak mengikuti perkembangan studi sosiologi. Karena memang sejak awalnya, studi sosiologi agama lahir bersamaan dengan kemunculan studi sosiologi. Untuk itu pendekatan yang dipakai dalam studi sosiologi agama juga tidak berbeda dengan pendekatan studi sosiologi (umum).

Dapat dikatakan hampir semua tokoh studi sosiologi (klasik) pada awal menemukan teorinya juga tidak terlepas dari persoalan agama yang digumulinya, seperti Auguste Comte (1798-1857), Karl Marx (1818-1884), Herbert Spencer (1820-1903), Emile Durkheim (1858-1917), George Simmel (1858-1918), Max Weber (1864-1920) dan juga tokoh sosiologi yang datang sesudahnya, seperti Peter L. Berger, Robert N. Bellah, Antonio Gramsci, dan lain-lain. Bisa jadi hal ini karena sosiolog-sosiolog kaliber itu memang lahir dari rahim agama (gereja), meskipun diantara mereka kemudian ada yang berpikir positif, ada pula yang berpikir negatif tentang agama yang menjadi analisis sosialnya.

Bahkan dalam perkembangan yang mutkahir, studi sosiologi agama selain mengkoneksikan dengan cabang ilmu-ilmu sosial lain, seperti politik dan ekonomi, juga telah memanfaatkan pendekatan yang dipakai dalam ilmu-ilmu humaniora, seperti psikologi, ilmu budaya, serta ilmu-ilmu alam, seperti statistika sosial, sosiometri dan lain-lain. Oleh karena itu di satu sisi, ketika studi sosiologi agama menjadi ilmu pengetahuan yang otonom menjadi jurusan atau program studi, ia memang harus membangun karakteristik epistemologi dan metodologinya tersendiri (the body of knowledge). Namun di sisi lain untuk mengembangkan metodologi dan epistemoginya itu bagaimana pun juga ia membutuhkan bantuan ilmu-ilmu lain, seperti psikologi, politik dan antropologi, bahkan ilmu-ilmu alam.

D. Ranah Kajian Ilmu

Menurut Haidar Nashir sebagaimana mengutip pendapat Robert N. Bellah, ranah kajian sosiologi agama mencakup tiga aspek, yaitu 1) mengkaji agama sebagai persoalan teoritis, terutama dalam memahami tindakan sosial, 2) menelaah hubungan antara agama dan berbagai bidang kehidupan sosial lain, seperti ekonomi, politik, kelas sosial, dan 3) mempelajari peran organisasi dan gerakan-gerakan sosial keagamaan.

Dari penjelasan di atas dapat diketahui bahwa ranah kajian sosiologi agama di era kontemporer ini mencakup tiga hal, yaitu pertama, pengembangkan secara teoritis studi sosiologi agama, terutama dalam memahami tindakan sosial individu dan masyarakat dalam beragama. Tindakan sosial di sini menyangkut pengembangan secara teoritis motif-motif dari tindakan sosial, proses atau interaksi dari tindakan sosial maupun implikasi yang ditimbulkan dari tindakan sosial. Dari ranah kajian ini, studi sosiologi agama diharapkan akan mengalami perkembangan teoritis dan metodologisnya yang dinamis dan inovatif.

Kedua, mengkaji hubungan agama dengan berbagai kehidupan masyarakat yang sangat luas, seperti hubungan agama dengan kehidupan politik. Dari kajian ini akan diketahui sejauhmana hubungan agama dengan politik itu terintegrasi atau terindependensi dalam kehidupan sosial masyarakat. Begitu pula hubungan agama dengan ekonomi, apakah agama mempengaruhi kehidupan ekonomi suatu masyarakat atau tidak, atau apakah agama mempengaruhi tingkat kemiskinan masyarakat atau tidak. Begitu juga hubungan agama dengan budaya, akan diketahui sejauhmana kebudayaan di masyarakat tertentu dipengaruhi oleh agama atau malah sebaliknya. Atau juga hubungan agama dengan persoalan seksual; apakah agama mempengaruhi perilaku dan interaksi seksual masyarakat atau malah sebaliknya, sehingga dari ranah ini akan menghasilkan kesimpulan-kesimpulan analisis dan hasil riset yang menarik dan aktual.

Ketiga, mengkaji peran organisasi dan gerakan keagamaan dalam masyarakat. Pada wilayah kajian ini akan diketahui ketika agama diinstitusionalisasikan oleh masyarakat; apakah, bagaimanakah dan sejauhmanakah institusionalisasi dalam bentuk organisasi-organisasi sosial keagamaan (ormas keagamaan) dan gerakan-gerakan keagamaan, baik yang berbasis politik maupun kemasyarakatan berperan dalam membangun kehidupan sosial (social contruction) atau malah sebaliknya mendestruksi tatanan sosial (social order), seperti kajian tentang fundamentalisme, radikalisme, globalisasi, konflik sosial, transformasi sosial dan social empowering dari agama sebagai institusi yang menyejarah dan mengambil peranan dalam kehidupan sosial.

Sedangkan dalam kontek Indonesia, wilayah kajian sosialogi agama dapat dibagi menjadi empat ranah kajian, yaitu, pertama, perlu dikaji berbagai macam fenomena “world-view” para pemeluk agama, yang mempengaruhi dan menjadi basis bagi tindakan-tindakan sosial mereka, yang berada dalam struktur sosial masyarakat majemuk. Sebagai catatan khusus, para peneliti agama dari UIN perlu juga mengkaji “alam pikiran keagamaan” atau pandangan-dunia kalangan agama lain, termasuk adanya kecenderungan “radikalisme” di sebagian tubuh kelompok ini, sehingga dapat mengetahui sekaligus memperkaya pemahaman mengenai alam pikiran para pemeluk agama di luar pemeluk mayoritas (muslim) di negeri yang majemuk ini. Kedua, perlu pula dikaji berbagai aspek relasional antara agama dan bidang kehidupan masyarakat, seperti politik, ekonomi, pendidikan, kesehatan, kesejahteraan, sosial budaya, dan lain-lain. Ketiga, kajian yang menyangkut relasi sosial antar dan inter kelompok agama di Indonesia, baik yang bercorak konflik maupun integrasi dengan berbagai aspek faktual lain. Keempat, kajian yang berkaitan dengan gerakan-gerakan dan organisasi-organsisasi keagamaan, yang cukup marak dan dinamik dalam kehidupan masyarakat Indonesia pada kurun terakhir.

Jadi dalam konteks keindonesiaan, ranah kajian sosiologi agama bertumpu pada isu-isu dan persoalan-persoalan sosial keagamaan kontemporer yang terjadi di tanah Air, yaitu pertama, kajian mengenai pandangan dunia keagamaan yang mempengaruhi tindakan sosial kelompok-kelompok keagamaan, sehingga akan memudahkan melakukan analisis atas munculnya komunitas-komuniats atau kelompok baru keagamaan di Indonesia, seperti gerakan-gerakan liberal, radikal dan militan dan New Age. Kedua, kajian mengenai interaksi agama dengan berbagai aspek kehidupan masyarakat, seperti gender, politik, ekonomi, kemiskinan, budaya, dan problem-problem sosial lain. Ketiga, kajian terhadap konflik dan integrasi antar kelompok-kelompok keagamaan baik secara internal (di dalam kelompok) maupun eksternal (antar kelompok), seperti konflik Gereja Katolik dan Gereja Protestan, konflik internal organisasi-organisasi agama Buddha, integrasi santri dan abangan, dan lain-lain.

E. Aneka Teori Sosiologi Agama

Penjelasan tentang teori sosiologi agama bermuara pada perdebatan di seputar pertanyaan apa definisi atau pengertian dari agama itu sendiri ketika dikaitkan dalam kehidupan bermasyarakat? Suatu definisi sebenarnya memiliki kecenderungan dan sifat yang tidak dapat dikatakan “benar” atau “salah”, melainkan hanya dapat dilihat dari sisi bermanfaat atau tidak bermanfaatnya bagi perkembangan teori-teori ilmu pengetahuan, dan aplikasinya dalam kehidupan sosial-kemanusiaan. Oleh karena itu semua tokoh sosiologi agama dalam merumuskan teori selalu berhenti pada persoalan definisi agama ketika agama itu ditempatkan sebagai fenomena sosial yang bersifat empiris. Untuk itu dalam sub tema ini akan diuraikan secara garis besar teori-teori yang dirumuskan oleh para tokoh sosiologi agama berdasarkan kerangka pemikiran di atas, seraya menyertakan perkembangan teori-teori sosial yang berkembang dewasa ini dalam mengkaji masalah agama ketika berinteraksi dengan masyarakat manusia.

1. Agama Sebagai Perekat Sosial

Teori yang lahir dari pendekatan fungsionalisme empirik ini menghasilkan kesimpulan definitif bahwa agama berperan sebagai perekat sosial dalam masyarakat. Tokoh yang mengemukakan teori integrasi sosial agama ini adalah Emile Durkheim yang menghasilkan karya besar di bidang sosiologi agama dengan judul bukunya yang diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris; The Elementary Forms of Religious Life (bentuk-bentuk dasar kehidupan keagamaan). Menurut Durkheim yang tertarik dengan unsur-unsur solidaritas masyarakat, mengungkapkan bahwa agama memiliki fungsi sosial. Agama bukan ilusi, melainkan merupakan fakta sosial yang dapat diidentifikasi dan mempunyai kepentingan sosial. Oleh karena itu agama sebenarnya tidak berisi kepercayaan pada roh-roh atau dewa-dewa, akan tetapi agama didirikan di atas perbedaan kategoris antara dunia sakral yang berhadapan dengan dunia profan dalam dunia sosial. Ini artinya setiap agama akan selalu ditandai oleh dikotomi antara yang sakral (suci) dengan yang profan (duniawi). Untuk itu keyakinan dan ritus-ritus religius merupakan “fakta-fakta sosial”, sebab keberadaan keyakinan dan ritus tersebut benar-benar bersifat individual, bersifat eksternal bagi individu dan mempengaruhi cara berpikir dan berperilaku individu dalam mengintegrasikan diri dalam dunia sosial. Dengan demikian agama merupakan sumber keteraturan sosial dan moral, mengikat anggota masyarakat dalam suatu proyeksi sosial bersama; sekumpulan nilai dan tujuan bersama yang bersifat sakral dan mengikat, sehingga membentuk solidaritas sosial.

Dalam konteks solidaritas sosial tersebut, bagi Durkheim agama berperani menjembatani ketegangan, menjaga kelangsungan masyarakat ketika dihadapkan pada tantangan yang mengancam kelangsungan hidupnya baik yang datang dari kelompok lain, orang-orang yang menyimpang (anomi sosial) dari kelompok sendiri, maupun dari bencana alam. Di sini peran pokok agama adalah menyatukan anggota masyarakat melalui deskripsi simbolik suci mengenai kedudukan mereka dalam kosmos, sejarah, dan tujuan mereka dalam keteraturan segala sesuatu. Dalam konteks masyarakat modern (Perancis) dimana ia lahir dan dibesarkan, Durkheim menganalisis diperlukannya akan ritual-ritual dan simbol baru yang dapat menghadirkan solidaritas sosial berdasar ide Repubikanisme Perancis, sebagaimana masyarakat primitif (suku Aborigin) yang membutuhkan simbol-simbol dan ritual totemisme.

2. Agama sebagai Motif dalam Tindakan Sosial

Dengan pendekatan empiris interpretatif (verstehende), Max Weber telah mengambil kesimpulan bahwa antara agama (doktrin) memiliki korelasi positif dengan tindakan sosial individu dalam masyarakat. Ini artinya agama berfungsi menjadi motif sosial individu dalam berinteraksi sosial. Jadi untuk memahami secara psikososial bagaimana motif individu dalam berinteraksi sosial di masyarakat, terutama dengan aktivitas ekonominya, maka analisis interpretatif diperlukan untuk menyelami dan menghayati sejauhmana kondisi dunia batin dan pikiran (soul and mind) individu yang dipengaruhi oleh agama (sosio-budaya) itu ketika secara lahiriah diekspresikan dalam menggerakkan tindakan sosial dalam menghadapi dunia sosialnya.

Pada riset studi kasusnya di Gereja Calvin dalam hubungannya dengan kemunculan kapitalisme, dan kemudian telah diterbitkan menjadi buku berjudul; The Protestan Ethics and The Spirit of Capitalism, Weber melihat secara teoritis bahwa sumber asketisme yang lahir dari kegelisahan terhadap doktrin takdir ganda dalam Gereja Calvinis di kalangan orang-orang Protestan mendorong etos duniawi yang kuat. Karena itu orang dapat memperoleh keselamatan atau celaka dari Tuhan tergantung dari kasih Tuhan yang diwujudkan tidak dalam bentuk doa atau sakramen gereja, melainkan kerja individu itu sendiri di dunia yang “seolah-olah’”ia memperoleh keselamatan dengan penguatan karakter moral (asketisme) yang ditunjukkan dari aktivitas keduniaan ini. Jadi asketisme individu (keshalehan) inilah yang mendorong tindakan sosialnya (kerja keras) untuk memperoleh kasih sayang Tuhan (keselamatan) di dunia dan akhirat, sehingga menghasilkan dampak kapitalisme. Oleh karena itu, bagi Weber tindakan sosial yang lahir dari orientasi individu yang mistik maupun individu yang utilitarian tidak akan menghasilkan tindakan sosial yang mampu menghadapi dunia (yang tidak shaleh) ini.

3. Agama Sebagai Sumber Keterasingan & Legitimasi Sosial

Dengam pendekatan strukturalisme yang bersifat materialistik, Karl Marx mencoba melihat peran agama secara negatif. Bagi Marx agama merupakan sumber keterasingan masyarakat dari dunia sosialnya. Di sini Marx mengungkapkan bahwa keterasingan manusia dalam riuh barang-barang komoditias sebagai analogi bagi keterasingan manusia dalam hubungan dengan kekuatan supranatural (agama). Oleh karena itu, agama dengan kekuatan supranaturalnya membuat manusia kehilangan kesadaran duniawinya, sehingga ia teralienasi dari dunia sosialnya yang bersifat material. Keterasingan di sini diartikan sebagai proses yang melewati hubungan-hubungan dialektis antar individu dengan dunia sosialnya yang hilang dari kesadaran (kritis).

Selain itu, Marx juga menyimpulkan fungsi agama sebagai sumber legitimasi bagi kelas sosial tertentu terhadap kelas sosial lain yang dikuasainya. Marx sebagaimana Durkheim juga melihat agama sebagai produk sosial dan sebagai agen keteraturan sosial pada masyarakat pramodern. Menurutnya fungsi utama agama dalam menghasilkan keteraturan sosial bukan terletak pada komitmennya untuk membangun proyeksi sosial bersama, tetapi lebih merupakan pembenaran (ligitimasi) atas aturan ketidakadilan dari kaum feodal kepada kaum petani, atau dari kapitalis terhadap kelas pekerja dalam masyarakat modern. Oleh karena itu agama (gereja) berfungsi sebagai tirai asap kolektif (katup pengaman) yang justru telah mengaburkan watak sebenarnya dari segala sesuatu yang dapat dilihat oleh mata pikiran masyarakat (kesadaran kritis), mengacaukan sumber dan realitas ketertindasan mereka yang diatur, dan juga berfungsi sebagai agen keteraturan sosial yang ditentukan secara ketuhanan (religius). Ini membuat agama kemudian berubah menjadi candu yang membius masyarakat dalam suasana ketertindasan mereka akibat kehilangan kesadaran sosialnya. Agama kemudian hanya menjanjikan pahala dalam kehidupan di akhirat (mistifikasi), akibat proses alienasi dan lenyapnyan kesadaran yang diciptakannya sendiri oleh agama yang dikuasai kaum elit dan pemegang otoritas gereja.

4. Agama Sebagai Konstruksi Sosial

Dengan pendekatan dialektika internalisasi, ekternalisasi dan obyektivikasi dalam melihat fakta sosial agama, Peter L. Berger telah mengambil kesimpulan bahwa agama berperan dalam mengkonstruksi dunia sosial (social construction). Ini artinya agama tidak semata-mata berfungsi sebagai pemelihara dunia, akan tepai justru yang lebih penting adalah sebagai pembangun dunia. Dalam analisis teoritisnya, Beger melihat agama yang datang dari langit suci (wahyu) ketika berada dalam dunia sosial menjadi sekumpulan makna, nilai-nilai dan pandangan dunia (world view) transenden yang berproses (berubah) dan dimiliki oleh individu ketika berinteraksi sosial dengan dunianya yang sekuler. Jadi dunia sosial itu dibangun dari proses internalisasi dimana inidividu menerima dan menghayati nilai-nilai dan makna suci dari wahyu (agama) yang kemudian dieksternalisasikan (ditransformasikan) nilai-nilai dan makna itu ke dalam kesadaran dunia sosial. Bentuk interaksi sosial individu semacam ini kemudian menghasilkan proses obyektivikasi (makna universal) yang terus menerus oleh karena adanya kesadaran proses internalisasi dan eksternalisasi yang terobyektivasikasikan tersebut bergerak mengikuti hukum-hukum dialektika sosial. Jadi gampangnya, agama (nilai-nilai transendensi) itu merupakan proses yang belum final, bukan hasil yang langsung dapat dicerna, karena perannya sebagai pembangun dunia sosial individu dalam bermasyarakat yang terus berubah dan menyejarah.

Dari perspektif dialektika eksternalisasi, internalisasi dan obyektivikasi yang cenderung melihat fakta lebih fenomenologis seperti itu, Berger telah mengambil kesimpulan teoritis bahwa peran agama tidak semata-mata sebagai pemelihara dunia (world maintenance) tetapi sekaligus sebagai pembangun dunia (social construction). Oleh karena itu, agama adalah usaha manusia yang dengannya dunia kosmos suci dibangun, ia melabelkan kekuatan keramat (sacred) pada obyek-obyek dan makna-makna yang dengannya manusia membangun dunia sosial dan model-model kosmos. Ini terjadi karena agama merepresentasikan proyek manusia di pusat dunia dan untuk memberikan kebermaknaan manusia dalam seluruh kosmos dan budayanya. Dalam masyarakat yang tercipta dari konstruksi sosial, individu beragama membangun (eksternalisasi) proses dan struktur yang ekstensif yang dengannya individu diinternalisasikan dalam pola-pola dan perilaku yang telah ditentukan (diobyektivikasikan). Dari sini, agama kemudian tidak hanya membangun makna dan dunia sosial yang keramat, melainkan menjadi sarana legitimasi bagi keteraturan dunia sosial. Dunia sosial dalam konteks ini diartikan --sebagaimana ungkapan Karl Mannheim-- adalah ideologi, yakni sekumpulan pengetahuan yang diobyektivikasikan secara sosial yang menjelaskan dan menjustifikasi dunia sosial. Bentuk dominan pengetahuan ini dalam masyarakat posmodern bukan religius tetapi ilmu pengetahuan. Namun justru agama berperan menentukan dalam memberikan status ontologis, ia memberi kebermaknaan sakral atas ilmu pengetahuan itu sendiri yang sebenarnya tidak memiliki status ontologis yang kokoh.

5. Agama Sebagai Simbol Masyarakat Sipil

Sebagai simbol perekat masyarakat sipil yang kemudian melahirkan teori agama sipil (civil religion), Robert N. Bellah menganalisis pentingnya peran agama menjadi kekuatan integratif dalam masyarakart modern yang kehilangan nilai-nilai agama yang menggereja (institusi). Dasar teoritis ini lahir dari pendekatan evolusi sosial Bellah mengenai agama dalam kehidupan masyarakat modern, khususnya terhadap gerakan keagamaan di Amerika Serikat. Menurut Bellah yang sehaluan dengan pemikiran Durkhemian, dalam konteks sejarah sosialnya, agama mengalami perkembangan fase evolusi masyarakat dari fase primitif, arkaik, historis, pra-modern, sampai munculnya fase modern yang melahirkan gagasan agama sipil (civil religion). Sementara fase historis didefinisikan sebagai agama yang dianut oleh masyarakat yang telah melek huruf yang menerima kitab suci dan bersifat transeden, seperti Islam, Hindu, Buddha, Kekristenan dan Judaisme.

Dalam masyarakat modern di Amerika, munculnya gerakan-gerakan keagamaan revivalistik yang marak bukan lahir karena motif penolakan terhadap dunia melainkan berusaha menyesuaikan agama dalam kehidupan modern. Bagi Bellah tindakan sosial agama dalam kehidupan modern merupakan kesinambungan dari kecenderungan yang sudah ada dalam masyarakat pramodern, tetapi masyarakat modern tidak lagi menyandarkan pada gereja (institusi agama) untuk mencari makna yang suci dalam kehidupannya. Dengan merosotnya ortodoksi doktrin dan sistem obyektif pedoman moral yang didukung agama (gereja), tindakan agama di dunia modern lebih menuntut untuk mencari nilai kemantapan individual dan relevansi sosial. Dalam konteks tersebut implikasi sosial yang utama dari situasi modern ini melahirkan self revising social system dalam mewujudkan masyarakat yang demokratis.

Oleh karena itu bagi Bellah, pada corak kehidupan masyarakat modern yang interaksi sosialnya dibangun melalui subsistem jaringan dan transformasi nilai, persoalan agama dan politik (demokrasi) tidak dapat saling diabaikan. Ini terjadi karena kepercayaan agama dan kekuasaan politik dalam sejarahnya yang lama selalu mengambil jarak dan menciptakan trouble. Negara yang memiliki kekuasaan politik dipandang sebagai sarana bagi aktivitas masyarakat yang berhubungan dengan sesuatu yang paling tinggi (ultimate thing) yang kehadirannya mampu membuat keputusan hidup dan mati masyarakat itu sendiri. Sementara agama yang berasal dari kekuasaan yang melebihi kekuasaan di seluruh dunia ini seringkali secara potensial menciptakan wilayah konflik dengan negara. Wilayah yang secara potensial menimbulkan konflik antara agama dan negara itu terkait dengan masalah legitimasi yang mencakup apakah persoalan kekuasaan politik yang ada itu bermoral dan benar maknanya, atau bahkan persoalan politik itu menggangu kewajiban-kewajiban agama (gereja) yang lebih asasi.[2] Dari sinilah kemudian peran agama sipil dibutuhkan oleh masyarakat untuk mencari legitimasi bersama bagaimana makna-makna agama (kesucian) pada kehidupan demokratis akan ditemukan dalam ritual dan simbol-simbolnya yang baru dan rasional dalam rangka mengintegrasikannya.

Ini artinya dalam perspektif kemunculan agama sipil yang berfungsi mengintegrasikan tatanan sosial ini, Bellah menganalisis bahwa dalam masyarakat modern yang demokratis, fungsi agama kemudian terpetakan menjadi dua, yaitu fungsi publik dan privat. Ini artinya, fungsi nilai-nilai yang bersifat privat dan publik agama sangat dibutuhkan karena adanya suatu kevakuman moral dalam kehidupan sipil dan sosial masyarakat Amerika Serikat yang serba teknis dan birokratis. Dan ternyata kevakuman moral ini menurut kesimpulan Bellah hanya dapat dipenuhi dengan memperbaharui peran publik dan sipil agama dalam kehidupan masyarakat…...



[1] Pengetahuan ilmiah empiris atau positivistik dedifinisikan sama dengan pengetahuan yang kebenarannya didasarkan pada realitas fakta atau gejala yang teramati. Karena itu fakta harus bebas nilai, ia berbeda dengan pernyataan nilai. Menurut Auguste Comte, suatu pernyataan nilai tidak pernah dapat dibuktikan secara ilmiah, karena itu pengetahuan empiris ilmiah harus bebas dari pernyataan-pernyataan nilai (teologi dan metafisika) sebagaimana dalam ilmu pengetahuan eksakta yang mengamati gejala-gejala alam sebagai benda mati. Bdk. Syamsuddin Abdullah, Agama dan Masyarakat Pendekatan Sosiologi Agama (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997), hlm., 13-14.

[2] Masroer, Transformasi Ketuhanan Yang Maha Esa (Tawhid) dalam Agama-Agama Historis dan Kemungkinan Munculnya Agama Sipil di Indonesia, Jurnal Esensia, Vol. 7, No. 2, Juli 2006, hlm 229.