WACANA EMPAT

timbangan buku

HISTORY OF JAVA : SEJARAH PERJUMPAAN AGAMA2 DI JAWA

Oleh : Masroer Ch. Jb

B A G I A N P E N D A H U L U A N

Pertanyaan awal mengenai apa itu arti sejarah, dapat dicari jawabannya dengan mudah kalau dilacak dari akar kata (terminologi) sejarah itu sendiri. Dari sisi etimologi terungkap bahwa kata sejarah bukan kata dasar yang berasal dari bahasa asli (indegenous), seperti bahasa Jawa, Minang, atau Indonesia, bukan pula dari bahasa asing serumpun Eropa, seperti bahasa Inggris, tetapi ia terambil dari kata Arab yang terserap ke dalam kata Indonesia; syajaratun yang berarti pohon. Berbeda dengan bahasa Inggris yang menamai sejarah dengan kata history yang berarti bukan cerita (khayalan); atau fakta.

Dari pengertian asal usul kata Arab tersebut, dapat disimpulkan sejarah diartikan sebagai pohon hidup, yang dimulai dari biji yang ditanam, akar yang tumbuh, batang yang meninggi, cabang yang mengembang, ranting yang menyebar sampai ke dahan yang patah tumbuh hilang berganti. Sejarah ibarat sebatang pohon, ia memiliki pola gerak secara bertahap dari tumbuh meninggi ke berkembang. Pola gerak dari tumbuh dan berkembang inilah yang menjadikan makna peristiwa sejarah berintikan sebagai suatu perubahan (change). Esensi sejarah adalah peristiwa perubahan itu sendiri. Sedangkan perubahan itu bisa bermakna ganda; yaitu pergantian dan pergeseran. Dalam sejarah, perubahan bisa berarti pergantian dari yang lama ke yang baru; yang lama hilang muncul yang baru, bisa pula dimaknai pergeseran dari yang kuno ke yang paling mutakhir, dan kembali ke kuno lagi; dari tempat di sebelah kiri bergeser ke sebelah kanan dan kembali lagi bergeser ke tempat sebelah kiri, dan seterusnya begitu.

Sejarah dapat juga didefinisikan sebagai peristiwa lampau, tetapi tidak semua peristiwa lampau dapat dikategorikan sebagai peristiwa sejarah. Peristiwa sejarah mempunyai karakteristik dasar yang unik (unique history) dan hanya terjadi sekali. Dalam arti sebagai peristiwa masa lalu sejarah memiliki dimensi temporal yang sangat penting, yaitu lampau, kini, dan mendatang.[1] Jika masa lampau dapat diketahui maknanya, maka sejarah dapat menjadi guru yang baik guna memahami masa kini dan memproyeksikan masa depan.

Oleh karena itu ketika makna sejarah dapat dipahami, maka ia telah mendidik kita dengan berbagai sajian kebenaran dan kesalahan, yang kesemuanya dapat diambil sebagai pelajaran berharga bagi perbaikan dan keberhasilan hidup di masa mendatang[2]. Mendiang Presiden Soekarno; mantan pemimpin besar revolusi Indonesia yang kesohor itu pernah menegaskan pentingnya mengambil pelajaran dari peristiwa sejarah. Ia mengingatkan kepada pengikut-pengikutnya yang setia agar jangan sekali-kali meninggalkan sejarah; Jasmerah! Al Qur'an pun yang diimani sebagai firman Tuhan yang di bawa oleh Nabi Muhammad SAW lebih dari seribu empat ratus tahun yang lalu sudah berpesan demikian; "....hendaklah setiap diri mengambil pelajaran dari apa yang telah diperbuat dalam sejarahnya untuk bekal hari esok..."[3].

Persoalannya lantas peristiwa sejarah yang memiliki dimensi temporal tersebut apakah bergerak mengikuti garis linear atau sirkular? Di sini makna dimensi waktu dalam kehidupan menjadi faktor yang menentukan ketika memahami peristiwa sejarah. Bagi kehidupan orang Jawa, misalnya waktu itu dimengerti seperti air danau yang tidak diketahui dari air itu bersumber, dan akan ke ujung mana air itu mengalir, tanpa pangkal dan ujung atau ia tidak bermuara sama sekali. Karena itu gerak kehidupan dengan dimensi waktu yang menyertainya merupakan proses yang berputar-putar. Dengan begitu bagi orang Jawa, peristiwa sejarah akan dipahami berbeda dengan apa yang terdapat di belahan dunia Barat atau Arab. Peristiwa sejarah yang menyangkut kehidupan manusia diibaratkan seperti gerak roda yang melingkar. Ia adalah cakra manggilingan (roda yang berputar). “Hidup itu lho mas seperti mengikuti roda yang berputar, kadang-kadang kita di atas, kadang pula berada di bawah”, begitulah yang seringkali terdengar jika orang Jawa sedang memberi nasehat kepada tetangga dekatnya.

Demikian pula bagi kebanyakan orang Islam di Jawa, mereka memahami sejarahnya seperti peristiwa kehidupan yang terjadi secara berulang-ulang. Sejarah bergerak melingkar (circular), dengan ujung dan pangkal yang sama, tanpa akhir. Lingkaran kehidupan, yakni lahir, hidup, dan kematian manusia, semuanya telah ditetapkan sebagai suratan takdir.[4] Lingkaran kehidupan ini harus diterima apa adanya sebagai nasib yang telah ditentukan oleh kekuatan yang berkuasa atas dirinya. Karena itu tidak perlu ada perubahan dalam dirinya; yang penting nasib dijalani sebagaimana mestinya. Kalau toh ada perubahan, ia harus mengharap (njagakke) perubahan itu datang dari kekuatan di luar dirinya, sebab jika perubahan itu muncul dari kehendak dalam dirinya sendiri, tentu saja akan dianggap sebagai hal yang buruk karena dianggap melawan takdir.

Untuk itu dalam penulisan ini, rekonstruksi suatu peristiwa sejarah dalam perspektif Jawa akan digunakan sebagai pendekatan (approach). Tetapi pendekatan ini memiliki kelemahan, diantaranya pertama, peristiwa sejarah tidak mengalami periodisasi, akibatnya tidak muncul pemaknaan yang progresif melainkan statis. Peristiwa sejarah berjalan stagnan ibarat sebarisan orang yang sedang berjalan di tempat; bergerak tetapi tidak maju-maju. Jalan di tempat….grak! Kedua, perjalanan hidup manusia yang sebenarnya merupakan kreasi sejarah yang dianugerahkan oleh Tuhan, dianggap sebagai nasib yang mesti diterima dengan sikap fatalistik (nerimo), pasif (berdiam diri; anteng), dan pesimistik (berorientasi ke belakang; masa lalu)

Oleh karena itu pendekatan periodisasi sejarah menurut Kuntowijoyo[5] akan dipakai untuk mengatasi kelemahan itu. Dengan mengacu model sosiologi pengetahuan, ia telah merekonstruksi sejarah orang-orang Islam di Jawa dengan menggunakan pendekatan periodisasi. Periodisasi ini terbagi menjadi tiga fase, yaitu fase mitos, ideologi, dan terakhir fase ide atau ilmu. Pada fase mitos dimulai dari awal mula kedatangan agama Islam sampai berakhirnya tahun 1800-an Masehi dengan ciri-ciri kehidupan religio-mitos. Di sini kehidupan agama, baik menyangkut doktrin, ritus, maupun ide-ide keagamaan masih diselimuti mitos. Ini berarti mitos sesuai dengan tingkat kehidupan orang Jawa pada waktu itu memiliki fungsi yang efektif sebagai cara untuk memperteguh keyakinan religius. Mitos itu dipakai oleh para pemimpin agama untuk menyampaikan ajaran religiusnya yang dikemas dalam bentuk cerita-cerita eksotik sehingga iman para pengikutnya pun bertambah tebal dibuatnya.

Kehidupan agama yang diselimuti mitos biasanya dinampakkan melalui praktik-praktik keagamaan yang irrasional (tidak masuk akal), tetapi memiliki fungsi yang rasional. Keris yang diyakini mampu memadamkan kebakaran rumah, misalnya sebagian orang Jawa mempunyai cara yang tidak masuk akal dalam menghormati dan mensakralkan benda yang terbuat dari besi atau baja itu sebagai barang keramat sampai memandikan dengan air yang ditaburi kembang segala. Tetapi cara-cara memperlakukan keris yang tidak rasional itu ternyata memiliki fungsi yang masuk akal, misalnya sebagai perlambang yang menunjukkan ketinggian status sosial si pemilik di mana komunitasnya memang masih membutuhkan lambang seperti itu dalam mengukur tinggi rendahnya status sosial individu dalam masyarakat, atau sekadar identitas (jatidiri) kultural bagi pemiliknya guna menyesuaikan dengan lingkungan di mana ia bertempat tinggal.

Adapun fase kedua dimulai dari munculnya semangat baru akan tercapainya harapan apa yang disebutnya 'teokratisme yang menolak ciri sekularisme', yang dimulai dari masa-masa menjelang kemerdekaan sampai pertengahan era Orde Baru. Dalam periode ini pula agama berfungsi sebagai ideologi sosial yang bersifat responsif (religio-ideologis). Ini berarti kehidupan agama masih bersifat ideologis karena ia menjadi salah satu faham (isme) yang mengandung seperangkat nilai dokmatik yang terstruktur lewat simbol maupun atribut keagamaan yang terlembagakan. Isme agama ini kemudian digunakan sebagai alat untuk mengatur tindakan dan perilaku keagamaan seseorang dalam mencapai tujuan ideologi yang dicita-citakan dalam setiap propaganda gerakan yang dilakukannya.

Dan fase ketiga dicirikan dari berpalingnya era yang bersifat ideologis ke bentuk praksis; suatu kronologi munculnya spirit keagamaan yang beridentitas urban. Fase ini ditandai dengan penempatan peran agama sebagai agent of progress bagi perkembangan ilmu pengetahuan (religio-akademis). Peran agama telah bergeser dari fungsi mitos dan ideologi ke pemberi spirit bagi kemajuan ilmu pengetahuan itu sendiri. Problematikanya dalam fase ini adalah menjadikan agama tidak hanya sebagai rumusan iman yang didokmakan, melainkan sebagai tradisi keilmuan yang tidak akan final. Terjadi ketegangan akibat pegumulan antara iman dengan ilmu pengetahuan yang tidak jarang menghasilkan perubahan yang menegangkan. Rumusan iman yang bersifat final dan absolut bersitegang dengan rumusan ilmu pengetahuan yang bersifat dinamis dan relatif.

Dengan mengambarkan pada pola keagamaan yang mistis, ideologis, dan syari’at dalam kehidupan orang-orang Islam di Jawa, setidaknya monograf ini akan bermanfaat. Salah satu manfaat yang dapat dipetik ialah dapat memberi gambaran yang utuh bagaimana sejarah perjumpaan antara Islam dan agama-agama berlangsung di tengah hegemoni kebudayaan Jawa yang terus berubah dan akibat yang ditimbulkannya dalam arus pusaran sejarah nasional Indonesia.

Gambaran dari uraian ini diharapkan dapat mencapai sasarannya, dalam arti memberi argumen-argumen yang bersifat historis kritis dalam mencermati katerkaitan anatara agama dengan perubahan sosial-budaya yang dibangun di atas dasar tiga tahapan perubahan sejarah sosial di Jawa. Tiga tahapan perubahan itu --sebagaimana dituturkan oleh Prof. Selo Sumardjan--didahului dari proses integrasi, disintegrasi sampai berakhir ke tahap integrasi baru. Dari harmonisasi lama, konflik sampai munculnya harmonisasi baru. Sebagai sistem sosial yang memiliki daya lentur yang tinggi dalam menghadapi berbagai cuaca dan iklim perubahan, Jawa merupakan suatu kawasan 'ketegangan' yang terus menerus bersifat hegemonik dalam konteks pembentukan kebudayaan Indonesia yang kini tengah berlangsung…. SELAMAT MEMBACA BUKUNYA….



[1] Djumarwan, Relevansi Metodologi antara Ilmu Sejarah dengan Ilmu Ilmu Sosial, dalam Jurnal INFORMASI (Yogyakarta: Yayasan Penerbit FPIPS IKIP Yogyakarta, No.2. Th XXII, 1994) 2.

[2] Ibid.

[3] QS 59 : 18.

[4]Pandangan seperti ini telah mengakibatkan orang-orang Jawa –dan mungkin masyarakat Melayu di Nusantara-- cenderung memiliki pendangan hidup yang berorientasi masa lalu daripada masa depan, atau masa depan itu sama seperti masa lalunya. Hal ini juga disebabkan oleh pandangan tentang waktu yang dekat dengan Hinduisme, walaupun kebanyakan mereka beragama Islam. Bandingkan, Simuh, Sufisme Jawa: Transformasi Tasawuf Islam ke Mistik Jawa (Yogyakarta: Bentang Budaya, 1996), 131.

[5] Kuntowidjoyo, Dinamika Sejarah Umat Islam Indonesia (Yogyakarta: Salahuddin Press, 1994), 29.