WACANA TIGA

Globalisasi & Pluralitas Kita
Oleh : Masroer Ch. Jb.

Artikel lepas yang tersusun ini dipublikasikan dengan maksud pokok mencoba memberi responsi yang –meminjam pikiran Jurgen Habermas-- agak kritis secara epistemik sekaligus sedikit sinis terhadap arus globalisasi dan anak kandungnya; pluralisme sebagai “new world order” satu-satunya yang harus diterima dari hasil traformasi peradaban Barat, dan implikasinya bagi spirit nasional kita di Indonesia. Untuk itu tidak usah merasa harus terkejut sekaligus menghujat jika artikel lepas ini hanya dipaparkan dalam bentuk narasi-narasi simplistis yang sama sekali tidak mengandung kedalaman dan keluasan arti globalisasi itu sendiri secara teoritis dalam persepsi epistemologi sosial. Namun metode kritisisme epistemik yang dipakai dalam penulisan artikel, layak diparesiasi sebagai “karya ilmiah” yang barangkali agak berbobot menurut subyektivtas saya.

Dalam pada itu, globalisasi dunia (globalization of the world) yang sebagian besar diimpor dari negeri AS, kini tidak saja merambah negeri-negeri serumpun AS yang terletak di daratan benua Eropa (Eropa Kontinental) plus kepulauan Britania Raya, melainkan telah merasuki pula di hampir seluruh pelosok dunia, termasuk Indonesia. Globalisasi itu seperti komoditas yang diperjualbelikan oleh produsen kepada konsumen. Globalisasi diproduksi sekaligus dikonsumsi oleh penduduk negeri tanpa mengenal batas-batas wilayah negara, geografi, iklim, ras, dan bahkan agama. Dalam “dunia” globalisasi, baik produsen maupun konsumen keduanya sama-sama diuntungkan. Yang pertama diuntungkan oleh karena kemampuan menjual produksinya sehingga menghasilkan keuntungan finansial yang berlipat ganda dan kejayaan diri (powerself), yang kedua diuntungkan oleh karena kemampuan mengkonsumsi produk globalisasi yang kemudian menghasilkan kepuasan jiwa, materi, dan kenikmatan tubuh.

Sebagai produsen terbesar globalisasi saat ini, rupanya AS dengan gencar menperdagangkannya ke penduduk negeri di berbagai belahan dunia. Tidak hanya diperdagangkan di kawasan negeri-negeri Timur Tengah, Amerika Latin, Afrika, dan Asia, tetapi juga telah masuk tanpa permisi di depan pintu rumah kita; Indonesia. Dagangan globalisasi AS itu kadang-kadang dilakukan melalui cara-cara halus dan damai layaknya pedagang yang jujur, tetapi tidak sedikit yang dijalankan dengan cara kekerasan (militer) dengan seperangkat alat teknologi tinggi, seperti yang dipertontonkannya di negeri Irak baru-baru ini.
Melalui teknologi informasi (IT) yang canggih, globalisasi membawa segudang barang dagangan. Mulai dari ide dunia (world view), ideologi, ilmu pengetahuan, fashion, makanan instan, industri film, arsitektur, produk budaya, website, teknologi perang, civil society, bahkan juga model agama. Dalam bidang agama dan produk budaya misalnya, globalisasi menyebarkan ide kesadaran akan pluralisme dunia (world pluralism). Pluralisme, baik dari budaya maupun agama yang kita kenal dengan istilah multikultur dan multireligius, merupakan kebutuhan dasar manusia yang hidup di era yang disebut dengan peradaban global (global civilization).

Karena itu gagasan mengenai kebutuhan manusia akan pentingnya kehidupan yang multikultur dan multireligius juga menjadi isu penting di negeri ini. Isu ini bertolak dari paradigama dasar bahwa tanpa kebutuhan akan kesadaran multikultur dan multireligius, justru manusia akan teralienasi dari lingkungan hidup yang digumulinya secara sosial. Kenapa begitu? Oleh karena negeri ini sejak dahulu kala memang sudah dalam kondisi hidup bermasyarakat yang multikultur dan multireligius; bhineka tunggal ika, begitulah Mpu Prapanca, seorang pujangga kuno menyimpulkan kondisi yang plural seperti itu.

Karena itu tidak heran jika Indonesia, negeri yang pada masa lampau disebut dengan nusantara ini, ternyata telah dihuni beratus-ratus suku, etnik, budaya, dan religi yang hidup berdampingan dan saling berinteraksi selama berabad-abad. Sejarah kebangsaan kita mencatat dengan gamblang, di persada nusantara terdapat banyak sekali keanekaragaman (pluralistas), baik dari suku bangsa maupun religinya. Ada suku bangsa Batak dengan segenap pernik budaya, religi, dan bahasanya, terdapat pula suku bangsa Dayak, Madura. Arab, Jawa, Tionghoa, Flores, Bugis, dan sebagainya yang saling berkomunikasi, meskipun hidup di kepulauan yang dipisahkan oleh lautan. Namun justru melalui hubungan lautan, mereka berinteraksi sosial, berdagang, kawin mawin dan membuat kontrak politik yang membentang dari penghujung pulau Sabang (Aceh) sampai ke ujung timur Merauke di tanah Papua.

Jadi barangan dagangan globalisasi untuk yang satu ini (pluralisme) memang sudah tidak asing lagi. Ia bukan barang yang baru, aneh, dan diharamkan di negeri yang berpenduduk terbesar keempat di dunia. Karena itu, sebenarnya kita hanya dibangkitkan dari tidur lelap tentang kesadaran pluralisme tersebut. Sekarang kesadaran itu muncul dengan tiba-tiba bersaman dengan tumbuhnya gelombang reformasi Indonesia. Di mana-mana semua orang dan institusi berbicara tentang pluralisme dengan tema-tema yang beragam, mulai dari religi lokal, local wisdom, budaya etnik lokal, desentralisasi, otonomi daerah sampai ke persoalan putra daerah, sesuatu yang dulu tabu dibicarakan. Tetapi kini telah menjadi wacana yang ramai didiskusikan dan dipaparkan di media cetak maupun elektronika.

Menjelang Pemilu tahun 2009, pluralistas bangsa kita agaknya akan mendapat ujian hebat lagi. Masing-masing partai politik sudah pasti ingin bersaing keras mencari dukungan, baik dukungan yang diperoleh dari suku bangsa tertentu, agama tertentu maupun budaya tertentu bahkan kalau perlu semuanya mendukung partai politik tertentu. Bisa jadi kompetisi ini menimbulkan persoalan dimana pluralistas kita akan jatuh ke dalam jurang yang paling dalam dan rendah (asfala safilin). Pluralistas sekadar dijadikan alat oleh sekelompok pemimpin politik untuk mengungkit-ungkit sentimen religius, suku, dan sentiman golongan, sehingga membangkitkan fanatisma sempit dan anarkhisme. Pluralistas yang diperalat sedemikian sempit dan tidak beradab itu pada ujungnya hanya akan menciptakan anomi, dan bahkan pertumpahan darah diantara sesama anak bangsa senidiri.

Oleh karena itu pluralisme di negeri ini harus dipakai sebagai tujuan bukan alat, misalnya guna memenangkan perlombaan dalam Pemilu 2009 kelak. Dengan media (baca; alat) demokrasi politik dalam arti yang senyatanya, masing-masing partai politik dapat berlomba-lomba untuk memenangkan Pemilu 2009 demi tegak dan berkembangnya pluralisme Indonesia. Sebuah model pluralisme yang diikat oleh nilai universal nasionalisme yang bertumpu pada nilai-nilai partikular pluralisme (lokal) itu sendiri, seperti keadilan dan toleransi. Tanpa itu semua, maka visi dan jargon partai politik yang masih mempertahankan sektarianisme dan primordialisme, sudah pasti tidak akan mendapat dukungan besar dari segenap suku bangsa dan agama di Indonesia. Di mana langit dijunjung, di situ bumi dipijak! 

Artikel u Pro Independensia Bakornas LAPMI PB HMI 2007