WACANA SEMBILAN

Agama, dan Etika Perdamaian
Oleh : Masroer Ch. Jb.*


Kekuatiran dari kalangan dunia usaha beberapa waktu lalu akan terjadinya konflik kekerasan dalam Pemilu 2004 & 2009 ternyata hingga detik ini hanya isapan jempol belaka alias tidak terbukti. Setiap Pemilu digelar ada anggapan akan membawa resiko tinggi, yakni memicu konflik. Alasanya, selain Pemilu diselenggarakan di tengah kehidupan nasional yang masih didera krisis dan trauma konflik agama dan etnik yang silih berganti, juga momentum Pemilu kali ini ada tiga hal yang baru yang kemungkinan tidak dipersiapkan secara matang dalam pelaksanaannya. Yang baru dari pesta demokrasi tersebut ialah selain dilangsungkan dalam tiga kali putaran pemilu yang memakan waktu hampir setahun, juga adanya pemilihan presiden dan wakilnya yang dipilih langsung oleh rakyat. Alhamdulillah, pada putaran pertama Pemilu kemarin kekuatiran tadi tidak menjadi kenyataan. Pemilu telah berjalan relatif sukses dan damai di seluruh pelosok Tanah Air.

Masalahnya lantas bagaimana jika konflik benar-benar menyeruak dalam putaran pemilu selanjutnya yang kini mulai tampak di depan kita? Bisakah agama yang selama ini dianggap sebagai kekuatan yang paling suci; terbebas dari konflik (kepentingan) mempunyai peran mengantisipasinya? Atau ia malah terlibat dalam konflik karena banyaknya tokoh agama berinkarnasi menjadi politisi yang saling bersaing keras? Agama dan konflik Pemilu merupakan dua hal yang terpisah. Tetapi jika keduanya berada dalam tempat dan momentum yang sama tentu masalahnya menjadi lain. Dalam pemilu 2004 dan juga pemilu-pemilu sebelumnya, para tokoh agama seringkali masuk dalam wilayah ini, bahkan berinkarnasi menjadi politisi yang ramai-ramai diusung menjadi calon presiden, misalnya. Di sini agama dan politik telah berjalin kelindan karena sama-sama berujung pada perebutan kekuasaan (power). Isul keharaman perempuan menjadi presiden yang difatwakan sekelompok ulama menjadi contoh baik bagaimana politik berkelindan dengan agama atau politisasi agama.

Kalau sudah begitu, eksistensi dan fungsi agama menjadi paradok. Di satu sisi ia terlibat dalam konflik oleh karena peran dirinya yang berubah menjadi kekuatan politik yang bertarung. Tetapi di sisi lain agama juga bisa berperan secara efektif lewat medium keperpolitikan untuk mengajarkan betapa urgensinya agama dalam membangun masyarakat yang damai dan aman. Ini artinya agama dapat memotivasi pencapaian pendidikan politik warga bangsa dalam menyalurkan hak politiknya secara damai.

Dimensi teologis semua agama sejatinya memang mengajarkan untuk mewujudkan nilai-nilai perdamaian --bukan konflik-- di segenap kehidupan yang dijalani para pemeluknya. Hidup damai merupakan kebutuhan asasi yang didambakan manusia di sepanjang hayatnya karena ia tidak saja menyangkut kebutuhan etis yang diinginkan manusia, seperti rasa aman, tetapi juga kebutuhan estetis; rasa nyaman dan keindahan. Nilai-nilai perdamaian seperti inilah yang secara eksistensial, sebenarnya telah menempatkan agama berada dalam wilayah transendental (the trancedent area); suatu wilayah yang sarat dengan nilai-nilai keilahian.
Di wilayah transendensi ini pula nurani manusia didorong untuk selalu mencari kebenaran ilahiah yang menjadi tujuan hidup yang hendak diraihnya. Ketika kebenaran telah sebangun maknanya dengan nilai perdamaian, sebenarnya manusia telah memahami eksistensi dirinya sebagai makhluk religius. Inti eksistensi dirinya sebagai makhluk religius (homo religious) terletak pada kemampuannya untuk mau mewujudkan nilai-nilai perdamaian yang bersifat trensedental itu ke dalam wilayah imanen. Dengan ajaran dasar tentang perdamaian yang terdapat di masing-masing ajaran agama, maka suatu agama jika kehadirannya sama sekali tidak membawa nilai-nilai perdamaian, sebaliknya cenderung mengobarkan konflik, tentu ada sesuatu yang aneh dari ajaran agama yang bersangkutan ketika ia diamalkan pemeluknya.

Kalau sudah demikian logika yang dipedomani, mengapa agama-agama justru amat sulit mewujudkan secara total (kaffah) pesan dasar transedensinya tersebut ke dunia? Bahkan seringkali ia terperosok ke dalam jurang perselisihan yang menumpahkan darah, seperti yang terjadi di Palestina dan bahkan di Ambon? Adakah kita sebagai kaum beragama telah salah dalam memahami agama sehingga kearifan akal budi menghilang ketika keberagamaan kita justru terselubungi beragam kepentingan, seperti kekuasaan (politik), apalagi dalam momentum Pemilu saat ini?

Ada jawaban sosiologis yang menggoda untuk merespon pertanyaan di atas. Dalam konteks sosial, fenomena keagamaan yang terkesan paradoksal tersebut; berdamai sekaligus juga kehendak berkonflik ria merupakan gejala yang lazim-lazim saja dalam masyarakat agama (social religions). Geertz sendiri pernah menjelaskan hubungan agama dan masyarakat ternyata berada dalam dua wilayah relasi, yaitu struktural dan fungsional. Di wilayah struktural kehadiran agama dapat menjadi pemicu konflik. Tetapi sebaliknya perspektif fungsional melihat agama sebagai alat perekat (integrated). Ini berarti agama tidak semata-mata mendorong orang untuk hidup rukun dan damai sebagai bentuk dari pengejawantahan nilai-nilai integrasi, melainkan pula ia menjadi alat pemicu yang ampuh bagi timbulnya konflik, lebih-lebih jika agama berubah fungsinya menjadi kekuatan kepentingan (interst group).

Dengan demikian konflik dipandang sebagai hal yang wajar pula karena sejalan dengan watak dasar manusia yang menghendaki hidup dinamik. Levis A. Coser dalam bukunya yang berjudul The Function of Social Conflict mengungkapkan konflik itu positif sepanjang ia berada dalam tahapan perubahan (social change). Dengan konflik justru perubahan akan menghasilkan nilai-nilai integrasi baru yang lebih kokoh. Artinya konflik dapat melahirkan integarasi baru sebagai konsekuensi dari terjadinya perubahan dimana nilai-nilai integrasi lama mulai kehilangan daya ikatnya. Di sini nilai-nilai lama mulai ditinggalkan sekaligus digantikan oleh nilai-nilai baru.

Karena itu konflik justru dibutuhkan dengan tujuan untuk memelihara perdamaian itu sendiri; via pacem para bellum. Melalui jalan konflik, ekses kekerasan yang dikuatirkan mencuat bisa dihilangkan sehingga konflik sejalan dengan tujuan perdamaian yang hendak diwujudkan. Yang ditolak adalah ekses kekerasan yang ditimbulkan akibat konflik karena kekerasan bagaimanapun bertentangan dengan kebutuhan asasi manusia yang menginginkan hidup aman dan damai. Sedangkan konflik itu sendiri positif (baik) kerena sebangun dengan tujuan yang hendak diraih dari konflik itu, yakni terciptanya perdamaian.

Kendati demikian, dari struktur dan nilai-nilai sosial-keagamaan yang berlaku di masyarakat kita, agaknya pandangan yang menempatkan agama sebagai pemicu konflik lebih lebih dalam persaingan pemilu, tidak menemukan banyak pengikut. Bahkan pandangan ini ditolak sebagian besar masyarakat. Justru yang terjadi agama ditempatkan sebagai faktor penting munculnya integrasi. Agama dinilai sebagai pengawal kerukunan dan kedamaian hidup, terutama yang masih dianut masyarakat yang bertempat tinggal di kampung-kampung, desa-desa, dan di kota-kota kecil. Dalam konteks masyarakat seperti ini, kerukunan dan kedamaian hidup identik dengan ketentraman dan ketenangan suasana sosial.

Namun nilai-nilai kerukunan dan kedamaian hidup yang berlaku di masyarakat kita agaknya bertumpu pada pandangan dunia (worldview) tentang keseimbangan hidup yang dianut bangsa kita. Kehidupan ini harus berjalan seimbang; tidak berat sebelah, syukur dapat diintegrasikan menjadi satu kesatuan dari dua kekuatan mikro dan makrokosmos. Di sini makna kerukunan dan kedamaian diwujudkan dalam kesatuan integratif dari berbagai kekuatan yang berfungsi di masyarakat. Agama sebagai salah satu kekuatan masyarakat, sudah pasti berfungsi untuk menjaga kepentingan keseimbangan ini. Jika agama tidak menfungsikan dirinya seperti ini, maka agama akan teralienasi dari dunia sosial (politik)nya. Padahal kalau agama telah mengalami keterasingan (alienation), kehadirannya akan menciptakan ketegangan-ketegangan yang sebenarnya tidak dicita-citakan oleh agama itu sendiri.

Oleh sebab itu dengan fungsi perekat sosial, peran agama –apapun agamanya-- diharapkan mampu berdialog mencari titik-temu (kalimatun sawa’) untuk membangun solidaritas yang kukuh. Namun solidaritas yang dibangun tidak akan kukuh dalam arti bertahan kekal kalau tidak disertai landasan etika. Karena itu masyarakat yang pluralitas agamanya tinggi seperti di Indonesia ini, upaya mencari titik-temu agama mesti diarahkan untuk mengembangkan etika bersama sebagai fondasi dari solidaritas integratif yang hendak diciptakan. Wallahu A’lamu

Titik temu tersebut bisa diwujudkan dalam bentuk rumusan etika bersama dalam menentukan aturan main di setiap kerja-kerja sosial (politik) yang dilakukan diantara agama-agama itu sendiri dengan mencari nilai-nilai persamaannya yang sudah pasti ada di setiap agama, seperti mengatur bagaimana perdamaian itu bisa kekal. Dengan etika bersama (global social ethic) tersebut, maka seluruh kepentingan dan tujuan di masing-masing agama dapat diatur untuk menopang ordo sosial (politik) yang tertib dan damai sesuai dengan esensi dasar semua ajaran agama itu sendiri yang menghendaki terciptanya perdamaian abadi. Pertanyaannya kapan para tokoh agama kita akan mengkonkretkannya, tidak asyiik masyuk dalam politik yang memabukkan? Wallahu a’lam.