Oleh : Masroer Ch. Jb.
Islam dan psikologi adalah dua istilah yang pada kenyataannya berbeda, namun dalam cita idealnya dapat dihubungkan. Istilah Islam berasal dari akar kata aslama yuslimu islaman, yang berarti pasrah, damai atau selamat. Dalam pengertian terminologi ini, Islam mengandung arti sebagai agama yang membawa ajaran kepasrahan, kedamaian dan atau keselamatan bagi pemeluknya ketika ia mempercayai Allah sebagai satu-satunya Tuhan yang wajib disembah. Dalam pengertian yang diketahui khalayak umum, Islam adalah sebuah agama langit (agama samawi) yang diturunkan oleh Allah Swt kepada Nabi Muhammad Saw dengan membawa ajaran kitab suci Al-Qur’an untuk disampaikan kepada umat manusia sebagai pedoman hidup yang abadi. Ajaran kitab suci al-Qur’an yang dipedomi ini dijelaskan dalam (kitab) Hadits Nabi yang kemudian diperinci lagi dalam kitab-kitab yang dihasilkaryakan oleh sahabat-sahabat Nabi Saw. dan para ulama.
Masalahnya kemudian adalah apakah Islam semata-mata dilihat sebagai agama? Atau ia memiliki arti lain? Untuk menjawab pertanyaan ini kita dapat membaca buku karya cendekiawan muslim Prof. Nurcholis Madjid yang berjudul, “Islam Doktrin dan Peradaban”.
Dari buku itu kita dapat mengambil kesimpulan bahwa ternyata Islam tidak semata-mata sebagai agama wahyu atau sekumpulan doktrin yang wajib diimani oleh pemeluknya sebagaimana yang dijelaskan di atas, akan tetapi ia juga merupakan sebuah peradaban dunia. Jika Islam dilihat dari kacamata peradaban, maka Islam adalah sebuah peradaban hidup yang mencakup seluruh dimensi kehidupan umat manusia, mulai dari soal ekonomi, politik, sosial, kebudayaan, dan bahkan ilmu pengetahuan yang dibangun oleh kaum muslimin di sepanjang sejarah kehidupannya. Jika kita, misalnya memahami Islam sebagai bagian dari bangunan peradaban ilmu pengetahuan, maka kita mengenal banyak sekali istilah-istilah ilmu pengetahuan yang terkait dengan kata Islam, seperti sosiologi Islam, antropologi Islam, ekonomi Islam, budaya Islam, arsitektur Islam, dan bahkan juga psikologi Islam. Menurut Prof. Amin Abdullah, istilah-istilah yang disebutkan itu merupakan bagian dari Studi Islam. Jadi Studi Islam itu sebenarnya tidak semata-mata Dirasah Islamiyah atau yang selama ini dipahami secara konvensional dan sempit sebagai ilmu agama un sich, tetapi juga mencakup ilmu-ilmu pengetahuan moderen yang ada saat ini yang telah ditumbuhkembangkan oleh kaum muslimin di dunia.
Oleh karena itu dalam Studi Islam kita mengenal pendekatan (baca: metodologi) sosiologi, pendekatan antropologi, dan bahkan pendekatan psikologi. Persoalannya lagi kemudian kenapa pendekatan-pendekatan itu muncul dalam Studi Islam? Untuk menjawab pertanyaan ini kita harus melihat bahwa dalam Studi Islam obyek kajian yang paling utama adalah Islam itu sendiri sebagai ajaran yang terdapat pada al-Qur’an dan Hadits Nabi, serta korpus-korpus keagamaan lain sekaligus bagaimana penerapan ajaran itu dalam kehidupan sehari-hari di kalangan pemeluknya. Untuk mengetahui “obyek kajian” Islam sebagaimana yang digambarkan tersebut, kita tidak cukup hanya menggunakan pendekatan tafsir atau hermeneutika, atau pendekatan fikih, atau pendekatan teologis (ilmu kalam), melainkan juga memerlukan pendekatan lain yang sesuai dengan persoalan masyarakat Islam sehari-hari seiring dengan semakin kompleks dan rumitnya kaum muslimin dalam mengamalkan ajaran Islam itu sendiri. Oleh karena itu dalam Studi Islam di sepanjang sejarahnya, terutama yang lahir di Timur Tengah, banyak ilmuwan muslim dan para ulama yang menggunakan pendekatan sosiologi atau psikologi seperti yang istilahnya kita kenal sekarang. Katakanlah kita mengenal Al-Farabi dengan pendekatan “psikologi” mampu menperkenalkan teorinya bahwa musik bisa menjadi terapi untuk penenangan jiwa bagi individu-individu yang bermasalah dalam hubungannya dengan soal ketuhanan. Dan atau juga Imam al-Ghazali yang pernah menerbitkan buku “psikologi” dengan pendekatan mistik, yaitu al-Kimiyya al-Sa’adah (kimia kebahagiaan) yang membahas soal bagaimana cara-cara mencapai kebahagiaan hidup bagi manusia dengan mengurai unsur-unsur kimiawi kebahagiaan yan terdapat dalam jiwa manusia.
Oleh karena itu dalam Studi Islam kita mengenal pendekatan (baca: metodologi) sosiologi, pendekatan antropologi, dan bahkan pendekatan psikologi. Persoalannya lagi kemudian kenapa pendekatan-pendekatan itu muncul dalam Studi Islam? Untuk menjawab pertanyaan ini kita harus melihat bahwa dalam Studi Islam obyek kajian yang paling utama adalah Islam itu sendiri sebagai ajaran yang terdapat pada al-Qur’an dan Hadits Nabi, serta korpus-korpus keagamaan lain sekaligus bagaimana penerapan ajaran itu dalam kehidupan sehari-hari di kalangan pemeluknya. Untuk mengetahui “obyek kajian” Islam sebagaimana yang digambarkan tersebut, kita tidak cukup hanya menggunakan pendekatan tafsir atau hermeneutika, atau pendekatan fikih, atau pendekatan teologis (ilmu kalam), melainkan juga memerlukan pendekatan lain yang sesuai dengan persoalan masyarakat Islam sehari-hari seiring dengan semakin kompleks dan rumitnya kaum muslimin dalam mengamalkan ajaran Islam itu sendiri. Oleh karena itu dalam Studi Islam di sepanjang sejarahnya, terutama yang lahir di Timur Tengah, banyak ilmuwan muslim dan para ulama yang menggunakan pendekatan sosiologi atau psikologi seperti yang istilahnya kita kenal sekarang. Katakanlah kita mengenal Al-Farabi dengan pendekatan “psikologi” mampu menperkenalkan teorinya bahwa musik bisa menjadi terapi untuk penenangan jiwa bagi individu-individu yang bermasalah dalam hubungannya dengan soal ketuhanan. Dan atau juga Imam al-Ghazali yang pernah menerbitkan buku “psikologi” dengan pendekatan mistik, yaitu al-Kimiyya al-Sa’adah (kimia kebahagiaan) yang membahas soal bagaimana cara-cara mencapai kebahagiaan hidup bagi manusia dengan mengurai unsur-unsur kimiawi kebahagiaan yan terdapat dalam jiwa manusia.
Persoalannya lagi kemudian mengapa Islam dan psikologi sebagaimana judul diatas seolah-olah merupakan hal yang berbeda dan asing? Bukankah dan padahal dalam sejarah Studi Islam yang digagas kaum muslimin di abad-abad yang lalu, hal itu merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan? Untuk menjawab persoalan ini kita dapat menelusuri dari perkembangan peradaban kaum muslimin yang selama abad ke-15 Masehi mengalami kemunduran yang luar biasa, di mana ilmu pengetahuan mengalami kejumudan alias tidak dapat berkembang, terutama sejak keruntuhan Kekhalifahan Abbasiyah di Baghdad dan kehancuran Kesultanan Ustmani di Turki.
Kemunduran tersebut kemudian diambil alih oleh bangsa-bangsa Eropa yang melahirkan peradaban Barat atau peradaban moderen seperti yang kita kenal sekarang. Sejak kemunculan semangat afklarung di Jerman, revolusi industri di Inggris atau kelahiran abad pencerahan di Eropa, seluruh ilmu pengetahuan moderen yang merujuk pada peradaban Yunani yang telah punah itu bangkit kembali dan berkembang pesat di dunia Barat. Lahirlah kemudian filsafat yang menggantikan kepercayaan pada dewa-dewa dan agama Yunani Kuno.
Dari filsafat dengan berbagai cabangnya itu muncul ilmu pengetahuan alam atau sains, seperti fisika, matematika, biologi, kimia, lalu disusul ilmu-ilmu sosial, seperti sosiologi, ekonomi, dan terakhir di abad ke-20 M., lahir ilmu-ilmu humaniora, seperti psikologi dan komunikasi. Kemajuan ilmu pengetahuan moderen di Barat ini semakin berkembang meluas seiring dengan pengaruh kolonalisme di berbagai belahan dunia, sehingga hampir semua negara yang dikolonisasi oleh bangsa Barat mengadopsi perkembangan ilmu pengetahuan moderen. Lalu lahirlah universitas-universitas dan sekolah-sekolah dalam bentuk klasikal di negara-negara jajahan itu yang mengikui sistem pendidikan klasikal dan model kurikulum Eropa (mengggantikan sistem pendidikan madrasah dan atau pesantren), tidak terkecuali di Dunia Islam yang juga tidak terlepas dari pengalaman sejarah kolonialisme.
Ciri pokok ilmu pengatahuan moderen yang dikembangkan di dunia Barat itu terletak pada kekuatan epistemologinya yang berkembang sedemikian dinamis mengikuti perubahan zaman dan konteks, sehingga banyak lahir teori-teori, konsep, dan metodologi ilmu pengetahuan yang bersifat rasional-empiris, di mana-mana ukuran kebenaran ilmu pengetahuan itu bertumpu pada sifatnya yang rasional dan atau empiris ketika diuji di lapangan. Tentu saja pengaruh ilmu pengetahuan moderen ini langsung atau tidak menimbulkan persoalan tersendiri bagi kamu muslimin. Untuk itulah di awal abad ke-20 M. di mana-mana, seperti di Mesir, Turki, dan Indonesia lahirlah Gerakan Kebangkitan atau Pembaharuan Islam yang bertumpu pada semangat untuk memajukan ilmu pengetahuan di Dunia Islam. Karena semangat memajukan ilmu pengatahuan di Dunia Islam ini tidak menemukan modelnya di negeri sendiri pada waktu itu, akhirnya ditengoklah model kemajuan ilmu pengetahuan moderen yang berkembang di Dunia Barat.
Dari filsafat dengan berbagai cabangnya itu muncul ilmu pengetahuan alam atau sains, seperti fisika, matematika, biologi, kimia, lalu disusul ilmu-ilmu sosial, seperti sosiologi, ekonomi, dan terakhir di abad ke-20 M., lahir ilmu-ilmu humaniora, seperti psikologi dan komunikasi. Kemajuan ilmu pengetahuan moderen di Barat ini semakin berkembang meluas seiring dengan pengaruh kolonalisme di berbagai belahan dunia, sehingga hampir semua negara yang dikolonisasi oleh bangsa Barat mengadopsi perkembangan ilmu pengetahuan moderen. Lalu lahirlah universitas-universitas dan sekolah-sekolah dalam bentuk klasikal di negara-negara jajahan itu yang mengikui sistem pendidikan klasikal dan model kurikulum Eropa (mengggantikan sistem pendidikan madrasah dan atau pesantren), tidak terkecuali di Dunia Islam yang juga tidak terlepas dari pengalaman sejarah kolonialisme.
Ciri pokok ilmu pengatahuan moderen yang dikembangkan di dunia Barat itu terletak pada kekuatan epistemologinya yang berkembang sedemikian dinamis mengikuti perubahan zaman dan konteks, sehingga banyak lahir teori-teori, konsep, dan metodologi ilmu pengetahuan yang bersifat rasional-empiris, di mana-mana ukuran kebenaran ilmu pengetahuan itu bertumpu pada sifatnya yang rasional dan atau empiris ketika diuji di lapangan. Tentu saja pengaruh ilmu pengetahuan moderen ini langsung atau tidak menimbulkan persoalan tersendiri bagi kamu muslimin. Untuk itulah di awal abad ke-20 M. di mana-mana, seperti di Mesir, Turki, dan Indonesia lahirlah Gerakan Kebangkitan atau Pembaharuan Islam yang bertumpu pada semangat untuk memajukan ilmu pengetahuan di Dunia Islam. Karena semangat memajukan ilmu pengatahuan di Dunia Islam ini tidak menemukan modelnya di negeri sendiri pada waktu itu, akhirnya ditengoklah model kemajuan ilmu pengetahuan moderen yang berkembang di Dunia Barat.
Dari sini kemudian ilmu-ilmu pengetahuan moderen diterima kaum muslimin sebagai bagian dari semangat untuk memajukan ilmu pengetahuan, tidak terkecuali (ilmu) psikologi. Oleh karena itulah kemudian ilmu psiklogi ini diadoposi menjadi bagian intrinsik dari Studi Islam. (Ilmu) psikologi kemudian tidak hanya dipakai dalam dasar-dasar epistemologinya (baca metodologi) untuk memahami ajaran Islam yang terdapat dalam al-Qur’an dan Hadits Nabi serta korpus-korpus keagamaan lain, tetapi juga persoalan masyarakat Islam yang hidup di era kekinian.
Dengan (ilmu) psikologi, misalnya dengan memakai pendekatan Freudian kita dapat memahami kenapa dalam masyarakat Islam interaksi seksual (id) yang menjadi kekuatan jiwa manusia untuk mengerakkan kehidupannya itu harus diatur dalam lembaga keluarga/perkawinan, dan lain-lain persoalan psikis umat. Oleh karena kemudian (ilmu) psikologi ini digunakan untuk memahami ajaran Islam sekaligus problem psikis yang dihadapi umat, maka dikatakanlah oleh para pakar dengan istilah Psikologi Islam. Lalu masalahnya apakah Psikologi Islam itu hanya sebatas ilmu yang secara aksiomatik berguna bagi kepentingan memahami ajaran Islam dan kebutuhan kaum muslimin. Tentu pertanyaan ini menimbulkan perbincangan yang hangat di kalangan ilmuwan muslim sendiri. Selain (ilmu) psikologi di Dunia Islam juga belum berkembang secara maksimal dalam aspek epistemologinya, juga tujuan aksiomatik untuk apa dan siapa ilmu ini dikembangkan juga masih menjadi perdebatan yang melelahkan.
Di satu sisi Psikologi Islam dipakai untuk keperluan ajaran Islam dan umatnya dalam mengatasi berbagai persoalan internal. Tetapi di sisi lain ada yang berpendapat Psikologi Islam itu tidak semata-mata untuk keperluan subyek dan obyek Islam, melainkan bersifat universal (rahmatan lil alamin), yakni melampaui batas-batas “identitas” Islam itu sendiri, sehingga dapat dikembangkanlah cabang-cabang (ilmu) psikologi lain, seperti psikologi industri, psikologi organisasi, psikologi diagnosis, psikologi konseling, psikologi dinamika, dan lain sebagainya, yang kelak di Dunia Islam dapat memberi kontribusi positif bagi masyarakat dunia umumnya. Nah dari situlah, agaknya kita dapat menemukan jawaban bagaimana sikap dan posisi kita dalam memandang secara paradigmatik perkembangan (ilmu) Psikologi di Dunia Islam yang sudah berdialog dengan ilmu pengetahuan Barat sebagaimana yang tertulis dalam judul artikel ini, yaitu “Islam dan Psikologi”? Wallahu A'lam..
SUMBER PUSTAKA
Ikhrom, Titik Singgung Antara Tasawuf, Psikologi Agama dan Kesehatan Mental, Teologia, Volume 19, Nomor 1, Januari 2008
Thomas H. Leahey, A History of Modern Psychology,New Jersey: Prentice Hall International, Inc., 1991
Kuntowijoyo. Islam Sebagai Ilmu. Yogyakarta: Tiara Wacana, 2006.
Nurcholis Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban, Jakarta, Paramadina. 2005
M. Amin Abdullah, “Etika Tauhidik Sebagai Dasar Kesatuan Epistemologi Keilmuan Umum dan Agama: Dari Paradigma Positivistik–Sekularisrtik kearah Teotroposentris–Integritas”, dalam Jarot Wahyudi, Menyatukan Kembali Ilmu-Ilmu Agama dan Umum: Upaya Mempertemukan Epistemologi Islam dan Umum, Yogyakarta, Sunan Kalijaga Press 2003.
-------------------, “Design Pengembangan Akademik IAIN Menjadi UIN Sunan Kalijaga; Dari Pola Pendekatan Dikotomis Atomistik ke Arah Integratif-Interdisiplinary”, Makalah dalam Diskusi Panel Refleksi 21 Tahun Program Pasca Sarjana IAIN Sunan Kalijaga, 16 Maret 2004.
-------------------, Islamic Studies di Perguruan Tinggi Islam Pendekatan Integratif Interkonektif, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2006.
*Artikel pernah didiskusikan pada Forum Diskusi Dosen Malam Sabtu UIN Sunan Kalijaga, April 2011