Oleh
Masroer Ch Jb & Taqibul Fikri
Niyartama
A. Pendahuluan
Gempabumi 27 Mei 2006 yang lalu
ternyata, menyisakan beragam pertanyaan pengetehuan bagi masyarakat Yogyakarta
akan fenomena alam yang meluluhlantakkan kehidupan kemanusiaan itu. Tidak
terbayangkan sebelumnya bahwa akan jatuh korban jiwa yang banyak dan kerugian
materi yang tidak sedikit akibat gempabumi bermagnitude 6,2 Mw tersebut. Dapat
dipastikan sebagian besar masyarakat Yogyakarta tidak mengetahui gempa bumi
akan terjadi di wilayahnya. Minimnya informasi dan pengetahuan dari pemerintah,
badan yang berwenang, maupun institusi sosial dan pendidikan menyebabkan
kurangnya perhatian akan bahaya gempa bumi yang setiap saat bisa terjadi.
Namun ironinya, setelah gempabumi
masyarakat mulai memperoleh banyak informasi mengenai peristiwa itu, baik dari
tayangan televisi, media massa, para relawan maupun reaktualisasi pengetahuan
lokal dari leluhur. Secara obyektif sains, gempabumi telah mengalami proses
panjang penelaahan ilmiah oleh para ahli kegempaan (seismologist).
Selain para ahli kegempaan, masyarakat di daerah yang sering mengalami
fluktuatif proses alam, dengan bekal kultur tradisional dan religiusitasnya
tentu mempunyai sudut pandang subyektif yang berbeda dengan yang obyektif. Masyarakat
kadangkala secara subyektif menginterpretasikan gempabumi sebagai suatu
bencana, hukuman Allah, atau sebaliknya rahmat, bahkan bercampur dengan
mitos-mitosnya yang dimiliki mengenai ulah kosmos yang menakutkan.
Dalam budaya lokal Indonesia, misalnya
pengetahuan masyarakat mengenai gempabumi sebagai bagian dari bencana alam
seringkali bertolak dari pandangan yang bersifat mistis dan mitologis. Jelas
pandangan subyektif mistis dan mitologis berbeda dengan pandangan sains modern.
Kadangkala juga pandangan mitologis bisa jadi bercampur dengan pandangan sains
yang diterima masyarakat dari para ahli fisika kebumian. Tentu pengetahuan yang
berbeda yang dalam konteks kultur tidak jarang saling bertentangan menarik
dicermati mengingat pandangan sains yang terlalu positivistik dan mekanik pada
kenyataannya sering tidak memberikan pengetahuan final dan pasti pada
masyarakat terhadap gempabumi. Akibatnya pandangan sains seperti ini
menimbulkan pertentangan dengan pengetahuan batin masyarakat yang terwujud dalam
pandangan-pandangan mistis dan mitologis mengenai gejala-gejala alam.
Dan ujungnya ini akan
mempengaruhi kebijakan negara dan antisipasi masyarakat bagaimana sebaiknya
menanggulangi bencana dengan kegiatan pemulihan dan rekonstruksi. Menurut Irwan
Abdullah, meskipun Indonesia, termasuk Jawa mempunyai banyak pengalaman
mengenai bencana alam, seperti letusan gunung Karakatau (1883), dan letusan
gunung Merapi yang dikenal dengan mahapralaya yang terjadi sekitar abad ke-10
M. Namun sayang kejadian yang berdampak
luar biasa tersebut tidak berhasil
diubah menjadi pengalaman kolektif yang dipelajari sebagai pengetahuan
kolektif. Bahkan pengalaman itu juga tidak berhasil menjadi dasar kebijakan
antisipatif dan pemulihan dampak bencana. Padahal pengalaman pengetahuan
kolektif yang bersifat kesejarahan ini penting dipelajari mengingat banyak
peristiwa bencana alam yang terjadi di Indonesia secara tiba-tiba dan tanpa
bisa diduga sebelumnya yang seringkali menelan korban nyawa dan harta benda
yang tidak sedikit.[1]
Dari latar belakang gagasan
itulah, artikel ini berusaha untuk mengekplorasi secara teoritis sejauhmana
fenomena alam gempa bumi dapat dilihat dari perspektif pengetahuan sains modern
maupun mitologi religius, dan bagaimana implikasi kedua hubungan kedua
pengatahuan yang saling bersaing dan berkembang itu di tengah karakteristik
masyarakat yang berpikir serba dekonstruktuivisme (posmodern) saat ini.
B. Perspektif Sains Fisika Modern
Dalam
perspektif sains modern, umur bumi menurut kesepakatan para ahli fisika
berkisar antara 4,5 milyar tahun[2]. Sebagaimana siklus
manusia, bumi juga mengalami kelahiran, masa muda, masa dewasa, masa tua, dan
masa dimana harus mati. Setiap masa tersebut membutuhkan waktu yang tidak
pendek. Jutaan tahun bahkan miliaran tahun bumi kita terus berproses. Salah
satu kejadian alam yang mengiringi proses tumbuh dan berkembangnya bumi ini
adalah gempabumi. Gempabumi merupakan salah satu proses alam yang terjadi di
bumi kita sejak berjuta-juta tahun yang lalu, berupa getaran atau goncangan
tanah yang diawali oleh patahnya lapisan tanah atau batuan di dalam kulit bumi,
dan diikuti pelepasan energi secara mendadak. Seperti halnya proses matahari
yang terbit dari ufuk timur dan tenggelam di ufuk barat, peristiwa bulan
mengelilingi bumi, dan proses bumi mengelilingi matahari, demikian juga proses
gempabumi.
Gempabumi
hadir mengiringi proses terbentuknya wajah bumi seperti saat ini. Tidak hanya
permukaan bumi yang mengalami perubahan, akan tetapi kondisi bawah permukaan
bumi juga mengalami hal yang sama. Berdasarkan bukti-bukti ilmiah yang ada
(ilmu Geofisika dan Geologi), bumi kita tersusun atas 3 bagian utama[3], yaitu kerak
bumi, mantel bumi dan inti bumi. Lapisan pertama, kerak bumi,
merupakan tempat kita hidup selama ini. Lapisan ini memiliki ketebalan
maksimal 30 km (bandingkan dengan jari-jari bumi yang sekitar 6400 km). Kerak
bumi ini sebenarnya terapung-apung diatas bagian bumi yang bernama mantel
bumi. Apabila kita masuk lebih dalam lagi, kita akan memasuki zona inti
bumi. Pada bagian inti bumi ini terjadi proses termonuklir, proses
terbelahnya inti atom yang disertai pelepasan energi. Energi itulah
yang menjaga ketersediaan panas dari dalam untuk bumi kita.
Pada
1915, Alfred Wagener memperkenalkan sebuah hipotesa yang dapat menjelaskan
keadaan dan proses berubahnya muka benua atau lempeng bumi. Hipotesa tersebut
dikenal dengan nama “Apungan Benua” (continental drift)[4]. Sekitar
225 juta tahun yang lalu, hanya ada satu bagian kerak bumi yang muncul diatas
permukaan air laut. Dengan kata lain hanya ada satu benua atau satu lempeng
benua di muka bumi. Lempeng atau benua itu disebut Pangea. Selama berjuta-juta
tahun kemudian, lempeng Pangea itu terpecah dan saling menjauh menjadi beberapa
lempeng. Seperti remukan kerupuk yang berada di atas bubur panas, seperti itu
juga keadaan lempeng atau kerak bumi di atas mantel bumi.
Apabila
kita sedikit mengaduk bubur itu, maka kerupuk di atasnya pasti bergerak. Sedikit
saja mantel bumi bergerak, maka bergerak juga lempeng benua di atasnya. Proses
bergerak, bertumbukan, atau bergeseknya lempeng tersebut yang kemudian memicu
gempa. Di seluruh dunia ada sekitar 13 lempeng utama yang senantiasa bergerak
secara dinamis, dua diantaranya merupakan lempeng utama penyusun daratan
Indonesia. Kedua lempeng tersebut ialah lempeng Australia dan lempeng Eurasia.
Selain itu Indonesia juga berbatasan langsung dengan dua lempeng yang lain,
yaitu lempeng Pasifik, dan lempeng Filipina. Dibawah ini akan diperlihatkan
mekanisme sederhana proses terjadinya gempabumi tektonik:
Proses terjadinya
Gempabumi tektonik:
Struktur bumi è konveksi
panas bumi è pergerakan
lempeng bumi (dorongan, desakan,
tumbukan, geseran atau gesekan antar lempeng) è energi
yang besar è batas
elastisitas batuan terlampaui (batuan tidak mampu menahan akumulasi energi) è
pelepasan energi è GEMPA è
penyebaran energi (gelombang P, Gelombang S, Gelombang permukaan) è
Perubahan muka tanah (Liquifaction, longsor, atau Tsunami).
|
Di wilayah Yogyakarta dan sekitarnya berada di dua lempeng aktif, yakni Indo Australia dan Eurasia. Kedua lempeng tersebut membentang dari belahan barat Sumatera sampai dengan belahan selatan Nusa Tenggara. Tumbukan kedua lempeng ini yang mengakibatkan gempa di sepanjang daerah yang berdekatan dengan batas kedua lempeng. Gempabumi yang terjadi di Yogyakarta pada 27 Mei 2006 secara makro dipicu oleh pergerakan lempeng Indo-Australia yang terus bergerak dengan kecepatan 7 cm per tahun. Beberapa versi analisis penyebab gempa secara khusus (mikro) muncul setelah peristiwa gempabumi, BMG dalam press realease-nya, menyebutkan bahwa gempa mempunyai kekuatan 5,9 SR pada pukul 05.54 WIB, pada koordinat 8,007o LS dan 110,286o BT atau pada jarak 25 km selatan Yoyakarta pada kedalaman 17 km[5]. Hasil penelitian dari Tim Geothermics, KyushuUniversity yang dipimpin oleh Prof. Sachio Ehara mengenai aftershocks gempabumi 27 Mei 2006 dan berdasar hasil data seismic serta gravity, pusat gempa diperkirakan pada posisi 10 km sebelah timur sesar Opak[6].
USGS (United States Gology Surveys) melalui website
memperkirakan pusat gempa pada daerah bertanda .
.
Setiap
hari ada sekitar 50 gempa yang cukup kuat (sekitar 3,5 SR) terjadi di seluruh
dunia, bahkan menurut USGS ada sekitar 1,5 juta kali gempa dengan kekuatan di
atas 2 SR terjadi setiap tahun[7]. Jelas
sekali bahwa Indonesia bukanlah satu-satunya negara yang mengalami gempa,
karena kejadian ini terjadi di hampir seluruh permukaan bumi. Gempa merupakan peristiwa
alam yang bersifat alamiah, dan sampai saat ini belum ada teknologi yang mampu
mencegahnya. Manusia hanya mampu berusaha meminimalkan akibat yang
ditimbulkannya.
C. Perspektif Mitologi-Religius
Sementara dalam pandangan
religuisitas masyarakat Isla,m peristiwa bencana alam seperti gempabumi
seringkali secara teologis disikapi dengan pandangan yang beragam. Oleh karena
itu dalam perspektif teologis akan banyak penafsiran atas kejadian alam
tersebut. Penafsiran yang muncul antara lain bersifat mistik-mitologis hingga
intelektif-ekologis[8]. Bahkan secara teologis ada yang
menyebut gempabumi muncul karena kehendak Allah yang dikarenakan bangsa
Indonesia telah terlalu banyak menanggung dosa. Kebalikan dari pendapat
tersebut, gempabumi dapat dimaknai bukan sebagai bencana tetapi berkah, dan
karunia[9]. Ini berarti ada dua kutub
pendapat yang bersifat teologis mengenai peristiwa tersebut. Kutub pertama
memandang negatif (subyek pelaku pasif), dengan realita yang terjadi adalah
musibah atau azab[10]. Kutub yang kedua memandang
sebagai berkah[11].
Oleh karena itu gempabumi di satu sisi, bisa jadi dipandang secara teologis
sebagai azab atau kutukan Tuhan terhadap manusia akibat tidak mau tunduk
mengikuti perintah-perintah-Nya. Ketidaktundukan manusia terhadap perintah
Tuhan ini dapat ditunjukkan dari, antara lain munculnya sikap dan perbuatan
manusia yang jauh dari ajaran Tuhan dengan banyak diantara mereka yang
meninggalkan ibadah, berperilaku moral yang destruktif sehingga alam menjadi
rusak, sebagaimana adanya pembalakan dan penebangan liar terhadap hutan dan
pengalian pasir yang eksploitatif. Untuk memberikan pelajaran (ibrah)
terhadap sikap dan perbuatan manusia yang buruk tersebut, Tuhan mengutuk mereka
dengan sejumlah bencana sebagaimana al-Qur’an menceritakan kutukan yang
ditimpakan kepada kaum Tsamud dan ’Ad dengan ditenggelamkan oleh Allah ke dasar
bumi melalui peristiwa gempabumi yang dahsat dan angin ribut. Di masa Nabi
Shaleh as. kaum Tsamud inilah karena pembangkanganya, kemudian ditimpa
gempabumi sebagaimana ditegaskan dalam al-Qur’an; ”Karena itu mereka ditimpa
gempa, maka jadilah mereka mayat-mayat yang bergelimpangan di tempat tinggal
mereka”.[12]
Namun di sisi lain, peristiwa
gempabumi juga dapat dipandang sebagai rahmat atau berkah Allah karena
sebenarnya peristiwa ini bukanlah menjadi laknat atau kutukan Tuhan terhadap
manusia, melainkan memang sudah digariskan oleh Tuhan sebagaimana sunnah-Nya
bekerja. Dalam perspektif religuisitas ini, Tuhan dengan kemampuan kodrat dan
iradah-Nya sedang memerintahkan bumi dan atau alam semesta bekerja
menyempurnakan dan memperbaharui hidupnya melalui peristiwa siklus alamiah,
seperti gempabumi. Peristiwa alamiah yang dalam bahasa teologi disebut sebagai
sunnah Allah (sunnatullah) ini sebenarnya tidak hanya dalam kasus
gempabumi, namun juga dalam hal penciptaan manusia di mana Tuhan menciptakannya
tidak secara tiba-tiba dan bersifat ajaib, seperti tukang sulap, melainkan
melalui proses evolusi yang bersifat alamiah; mulai dari potensi air yang
terpancar, kemudian darah, daging, tulang belulang dan berakhir dengan
bungkusan daging yang berbentuk manusia sebagai makhluk yang paling baik (ahsani
taqwim) sebagaimana al-Qur’an pernah menegaskannya.[13]
Dengan demikian gempa bumi,
--sebagaimana penuturan Kusmayanto Kadiman (Menristek)-- sebenarnya merupakan karunia Allah, karena
gesekan dan tubrukan ini yang membuat satu lapisan menumpuk di lapisan lain,
menciptakan ruang-ruang kosong dan jadi jebakan bagi gas, minyak bumi, batu
bara, dan bahan galian lain[14]. Peristiwa gempabumi juga
dipandang sebagai suatu hukum alam (sunatullah) yang merupakan proses
penyempurnaan bumi mengikuti keseimbangan orde kosmos[15]. Tentu proses alamiah ini
menghasilkan keberuntungan-keberuntungan atau nilai tambah tersendiri bagi
manusia dalam bentuk penemuan-penemuan dan eksplorasi hasil bumi, berupa minyak
dan gas misalnya.
Namun dalam masyarakat Islam
Jawa, fenomena gempabumi tidak hanya dipengaruhi oleh sains dan dasar
teologi dalam kitab suci al-Qur’an, melainkan juga dipengaruhi oleh
pandangan-pandangan religuisitas yang bersifat mitologis. Jadi fenomena
gempabumi dalam kearifan religi lokal Jawa ternyata memiliki mitos-mitosnya
tersediri. Mitos itu sendiri dapat dimaknai sebagai pernyataan tentang suatu
kebenaran lebih tinggi dan penting mengenai asal usul kejadian alam (kosmos)
yang masih dimengerti sebagai pola dan fondasi dari kehidupan masyarakat yang
masih primitif.[16] Tetapi dalam konteks pengetahuan
posmodernisme yang mendekonstruksi kebenaran-kebenaran monolitik
struktur rasionalisme epistemologi modern, justru kebenaran mitologis juga
dipakai sebagai struktur kebenaran partikular epistemik, tidak hanya dalam
masyarakat primitif tetapi juga non-primitif.
Karena itu mitos menjadi penting
karena ia mencerminkan kearifan lokal sebuah konstruksi realitas yang
sekalipun subyektif dan partikular tetapi disisi lain mengandung kebenarannya
sendiri sebagai kenyataan obyektif yang bermakna. Sebagai sebuah bentuk
religuisitas lokal, mitos memiliki fungsi bagaimana suatu keadaan menjadi
sesuatu yang lain; bagaimana dunia yang kosong menjadi berpenghuni; bagaimana
situasi yang kacau menjadi teratur dan stabil.[17] Dalam konteks keberagamaan,
mitos menjadi bermakna bagi masyarakat bukan semata-mata ia memuat
kejadian-kejadian ajaib atau peristiwa-peristiwa alam, melainkan ia memiliki
fungsi eksisitensial bagi manusia. Mitos berperan sebagai peristiwa pemula
dalam suatu upacara atau ritus agama, atau sebagai model tetap dalam berperilaku
moral maupun religius. Ia dapat menjadi keyakinan-keyakinan yang membentuk
pandangan dunia (waltanchaung) dan hakikat tindakan moral, serta ikut
menentukan hubungan ritual antara manusia dengan penciptanya. [18]
Dalam mitos-mitos yang berkembang
di Jawa, gempabumi seringakali disebut
sebagai bagian dari pageblug atau lindu. Bagi orang Jawa pageblug
merupakan suatu bencana yang datang secara tiba-tiba dan menjadi momok karena
mengancam korban manusia yang besar.[19] Dalam kitab Primbon
berjudul ”Bataljemur Adammakna” yang banyak memuat unsur-unsur mitos,
disebutkan bahwa fenomena gempabumi atau pageblug yang terjadi dalam hitungan
hari, bulan atau waktu-waktu tertentu mengandung pesan-pesan dan makna moral
yang harus ditaati sebagai pedoman berperilaku bagi masyarakat. Misalnya, disebutkan jika pegeblug atau
gempabumi itu terjadi pada bulan Suro dan di waktu siang hari, maka
dipercaya akan muncul banyak penyakit dan keprihatian, dan jika terjadi gempa
pada malam harinya, maka harga-harga makanan menjadi mahal. Begitu pula, apabila
gempa bumi terjadi pada bulan Rejeb dan di siang hari, dipastikan banyak
binatang yang terkena penyakit, akan tetapi jika terjadi pada malam hari, maka
dipercaya di desa-desa akan banyak orang jahat dan berpindah tempat[20]. Mitos-mitos tentang gempabumi
dalam kitab primbon itu kemungkinan sempat mempengaruhi pandangan masyarakat
Yogyakarta di mana di saat musibah gempa
terjadi banyak isu-isu kejahatan bermunculan, termasuk maraknya aksi
penjarahan.
Di negara Jepang yang telah memiliki tingkat kemajuan sains
yang tinggi, terutama untuk mempelajari gempa bumi, ternyata terdapat sebuah
mitos yang unik, yaitu ikan lele yang dipercaya oleh sebagian penduduk Jepang
untuk dipakai mendeteksi terjadinya gempa. Pada zaman dahulu orang Jepang
percaya dengan mitos bahwa di bawah tanah terdapat sebuah ikan lele raksasa,
yang apabila ia bergerak akan menimbulkan guncangan (gempa bumi). Bahkan ada beberapa sastra Jepang yang menyebutkan demikian, malahan
sampai saat ini masih ada yang percaya dengan mitos tersebut.
Orang-orang
Jepang dapat mengetahui bahwa gempa akan terjadi apabila ikan lele menunjukkan
perilaku yang aneh. Ikan lele cenderung untuk hidup diperairan bagian bawah,
tetapi bila akan terjadi gempa mereka menunjukkan perilaku yang berbeda,
diantaranya mereka naik ke permukaan air, keluar dari habitat mereka, dan
mereka menggelepar-gelepar. Makanya tidak aneh bila akan terjadi gempa ikan
lele mudah sekali ditangkap. Jika biasanya sulit sekali untuk mendapatkan, maka
akan menjadi mudah untuk menangkap ikan lele dan hasil tangkapannya pun
berjumlah banyak. Menurut analisis ilmiah ikan lele hidupnya cenderung di bawah
atau menempel dengan substrat. Jadi dia sangat peka sekali dengan
getaran-getaran ringan yang terjadi di bawah tanah, sehingga sebelum terjadi
gempa ia sudah dapat merasakan lebih dahulu, makanya dia berperilaku aneh dan
berusaha untuk menjauhi substratnya.[21]
Di
Jawa, khususnya di masyarakat Grudo dan Bantul umumnya, gempa bumi yang terjadi
justru dipercayai karena adanya pergerakan naga raksasa yang menggeliat ke dasar bumi sehingga goncangan gempa yang
terjadi pada waktu itu seperti gelombang tanah yang bergerak-gerak yang
menunjukkan naga raksasa sedang menggeliat dan berjalan.[22]
Jadi ada korelasi positif peristiwa gempa bumi dengan pergerakan naga raksasa yang
memberi pesan moral bahwa Sing Bahurekso (yang berkuasa atas tanah Jawa)
sedang murka terhadap penduduk bumi yang seringkali merusak alam.[23]
Seringkali
cerita-cerita mitos itu juga terkadang masuk akal jika dikaitkan dengan
kenyataan yang ada. Seperti salah satu cerita yang dari penduduk setempat
ketika ia sedang memilah batu bata di halaman belakang rumah ambruk, tetangga
samping rumah mengajak ngobrol melalui temboknya yang bolong karena tertimpa dinding
rumahnya. Dia bilang wajar saja kalau sang Ratu tidak puas dengan keadaan
Yogyakarta sekarang. Menurut dia, banyak situs sejarah yang dikeramatkan,
berubah menjadi bangunan modern yang berfungsi sebagai tempat rekreasi.
"Lha conto sing cetho welo-welo nggih Hotel Ambarukmo niku. Wong hotel
tesih magrong-magrong, benthet mung mboten, lha kok jejere Plaza Ambarukmo sing
rampung rong sasi kepengker kok ambruk. Lha niku rak pertondhotho."[24]
Selain
mitos Nyi Roro Kidul dan naga raksaa, ada mitos lain yakni awan gempa yang
diduga sebagai tanda akan terjadinya gempa bumi. Awan aneh ini bentuknya
memanjang seperti asap yang ke luar dari pesawat.[25]
Seorang ilmuwan India, Varahamihira karyanya Brihat Samhita membahas beberapa
tanda-tanda peringantan akan adanya gempa bumi, misalnya: kelakuan
binatang-binatang yang tidak seperti biasanya, pengaruh astrologi, pergerakan
bawah air tanah dan formasi awan yang aneh, yang muncul seminggu sebelum
terjadinya gempa bumi.[26]
D. Penutup
Gempa
bumi dalam perspektif sains dan mitologi-religius kadangkala dipahami masyarakat secara
terpisah, lebih-lebih dengan kultur dan latar pendidikan masyarakat yang
berbeda tajam, ehingga kedua perspektif itu dipandang bertentangan Karena
antara yang satu bersifat ilmiah dan yang lainya bersifat non ilmiah atau
irrasional. Namun tidak jarang peristiwa ini dimaknai secara korelatif. Ini terjadi
karena perspektif religuisitas masyarakat dalam bentuk kepercayaan-kepercayaan
yang bersifat mitologis dan mistis seringkali dapat dirasionalisasi secara
fungsional dalam kacamata sosiologi interpretatif, seperti menjadi pesan-pesan (pengetahuan)
yang dapat dinalar menjadi pedoman moral dan etika di masyarakat dalam
menghargai kehidupan (bio-etik).
Hanya
saja kedua perspektif itui belum dapat memberikan jawaban pasti kepada
masyarakat bagaimana mengantisipasi gempa bumi dan dampaknya jika akan terjadi
50 sampai 40 tahun kemudian, sekalipun kini pengetahuan masyarakat kita telah
berkembang ke level posmodernitas. Memang pada dasarnya semua fenomena alam itu
dapat dipecahkan oleh pengetahuan manusia jika ia mau berpikir dan merenungi,
kecuali hanya satu mengubah takdir Tuhan. Tetapi masalahnya, apakah ada
masyarakat ilmuwan, baik di lingkungan ilmu sosial maupun ilmu alam mempercayai
gempa bumi sebagai takdir Tuhan? Wallahu A’lam.
Masroer Ch. Jb., M.Si Dosen Sosiologi Agama Taqibul Fikri Niyartama, M.Si.
Dosen Fisika Fakultas Saintek
UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
DAFTAR KEPUSTAKAAN
Alexander Susanto, Musibah
dan Kemanusiaan (Jangan) Mengolok-olok Bencana, Kompas 21 Juli 2006.
Aloys Budi Purnomo, Negeri
Gempa dan Tsunami, Kompas, 20 Juli 2006
Bestari, Patahan yang mematikan, Kompas, 3 Juni 2006.
Bullen K. E., Bolt B.A., An Introduction To The Theory Of
Seismology, New York, Cambridge University Press, 1985,
Faisal Sanapiah, Format-Format Penelitian Sosial: Dasar-Dasar dan
Aplikasi, Jakarta, Rajawali
Press,1989.
Fukouka. dkk, Interpretation of the 27 May 2006 Yogyakarta
earthquake hypocenter and the subsurface structure deduced from the aftershock
activity observations, Proceedings
of the 3rd International Symposium Earth Resources and Geological Engineering
Education, Yogyakarta, 2006.
Harya Cakraningrat, Kitab Primbon Betaljemur Adammakna,
Yogyakarta, Soemodidjojo Mahadewa, 1994.
Ika A Kristie, Malin Kundang Pascagempa, Kompas, 19 Juli 2006
Irwan Abdullah, Bencana Belum Dijadikan Kajian Studi Menyeluruh,
Kompas, 14 November 2006.
Kusmayanto Kadiman, Menyikapi Bencana Alam, Niteni, Nirokake, dan
Nambahi, Kompas, 16 Juni 2006.
Lawrence Badash, The Age-Of-The-Earth Debate, Scientific
America, 1989
Moleong, Lexy J, Metode Penelitian Kualitatif, Bandung, PT Remaja
Rosdakarya, 2001.
Mariasusai Dhavamony, Fenomenologi Agama, Yogyakarta,
Kanisius, 2002.
Pageblug, www. Angkringan Senyum.Com.
Shearer P. M., Introduction To The Theory Of Seismology, New York,
Cambridge University Press, London, 1999.
Winardi dkk, Gempa Jogja Indonesia Dan Dunia, Jakarta, PT
Gramedia Majalah, 2006
[2] Lawrence Badash, The Age-Of-The-Earth Debate, Scientific
America, 1989
[3] Bullen K. E., Bolt B.A., An
Introduction To The Theory Of Seismology (New York: Cambridge University
Press, 1985), hlm. 310-348.
[4] Shearer P. M., 1999, Introduction To The Theory Of Seismology
(New York: Cambridge University Press, 1992) , hlm. 6.
[5] Bestari, Patahan yang mematikan,
Kompas, 3 Juni 2006.
[6] Fukouka. dkk, Interpretation of the 27 May 2006
Yogyakarta earthquake hypocenter and the subsurface structure deduced from the
aftershock activity observations, Proceedings of the 3rd
International Symposium Earth Resources and Geological Engineering Education,
Yogyakarta, 2006
[7] http://www.usgs.gov/
[8] Aloys Budi
Purnomo, Negeri Gempa dan Tsunami, Kompas, 20 Juli 2006
[9] Ika A Kristie, Malin
Kundang Pascagempa, Kompas, 19 Juli 2006
[10] Aloys Budi Purnomo, Ibid.
[11] Kusmayanto Kadiman, Menyikapi Bencana Alam, Niteni, Nirokake,
dan Nambahi, Kompas, 16 Juni 2006.
[12] QS. al-A’raf : 78.
[13] QS al-Mu’minun : 12-14.
[14] Kusmayanto
Kadiman, Ibid.
[15] Alexander
Susanto, Musibah dan Kemanusiaan (Jangan) Mengolok-olok Bencana, Kompas
21 Juli 2006.
[16] Mariasusai Dhavamony, Fenomenologi Agama (Yogyakarta:
Kanisius, 2002), hlm., 147.
[17] Ibid, hlm, 149.
[18] Ibid, hlm. 150.
[19] Pageblug, www. Angkringan Senyum.Com.
[20] Harya Cakraningrat, Kitab Primbon Betaljemur Adammakna
(Yogyakarta: Soemodidjojo Mahadewa, 1994), hlm. 178.,
[21] WWW. Wikepedia.Indonesia.com, 3 Nopember 2007.
[22] Wawancara dengan Rois Grudo, Bapak Supardi, 2 Nopember 2007
[23] Wawancara dengan penduduk Grudo. 20 September 2007
[24] Wawancara dengan penduduk Grudo, 5 oktober 2007
[25] Wawancara dengan Rois Grudo Bapak Supardi 2 Nopember 2007
[26] WWW. Wikepedia Inonesia.com. 4 Nopember 2007