REFLEKSI RAMADHAN: KEJUJURAN MUHAMMAD SAW

Oleh : Masroer Ch. Jb.*


Naskah ini disampaikan ke khalayak kaum muslimin sebagai refleksi di tengah persoalan-persoalan patologis masyarakat kita yang timbul sejak era reformasi berlangsung lebih dari tujuh tahun lalu. Padahal reformasi yang digulirkan itu justru lahir sebagai upaya membangkitkan kembali gerakan moral (moral of force) di tengah deviasi sosial berupa penyakit KKN yang dulu pernah menggerogoti pemerintahan masa lalu. Melalui momentum bulan suci Ramadhan 1428 H, naskah ini juga mencoba berintrospeksi (muhasabah) agar kita dapat kembali meneladani Muhammad Saw sebagai top figur moral, terutama dalam hal kejujurannya. Sebab hanya dengan kekuatan moral inilah menurut Michael H. Hart, Nabi Saw kita menjadi manusia yang paling sukses dan cepat membangun peradaban dunia sekaligus agama. Sudah pasti di setiap berbicara dan bertindak atas nama agama Islam, lebih lagi dalam suasana Ramadhan ini, kita selalu diingatkan pada sosok Muhammad Saw. sebagai satu-satunya manusia yang paling banyak disebut-sebut namanya, meskipun kini tidak sedikit orang yang mulai melupakan kisah hidupnya.

Kedudukan Muhammad Saw yang memang sangat dihormati, bahkan secara religius hanya satu tingkat di bawah Allah dalam keyakinan umat Islam, seperti dari bacaan sehari-hari kita ketika sholat dan di waktu adzan yang selalu menyebut nama beliau, bahkan dalam dasar keimanan ketika orang menyatakan muslim dengan ikrar syahadatnya. Kedudukan Muhammad yang demikian itu membuktikan bahwa beliau bukan manusia biasa, sekalipun secara biologis ia juga manusia yang kerso makan, minum dan berrumah tangga. Ketidakbiasan Muhammad sebagai manusia dinisbatkan karena perannya yang melampaui (beyond) manusia pada umumnya, terutama peran yang begitu sentral dalam kemunculan agama Islam. Bahkan saking sentralnya, sejumlah orientalis mengira Muhammadlah; orang yang menciptakan Islam sebagai agama yang kini dianut lebih satu miliar penduduk dunia, setingkat di bawah Kekristenan. Dalam salah satu studi orientalisme, misalnya disebut-sebut asal usul Islam dinisbatkan ke nama Nabi ini, yaitu Muhammadanism. Sehingga agama Islam dinilai secara naïf sama dengan Muhammadanism; semacam ideologi dunia (world ideology) yang diciptakan sekaligus disebarkan Muhammad kepada pengikut-pengikutnya dengan kekerasan dan jihad yang tidak masuk akal. Akan tetapi Muhammad Saw bukan pencipta ajaran Islam karena Islam adalah agama wahyu (revelatio) yang bersumber dari millata Ibrahima. Muhammad adalah manusia yang dimukjizati Tuhan untuk menyampaikan risalah-Nya, sebagaimana Yesus dan Musa pernah mengalami. Beliaulah manusia satu-satunya panerima wahyu dalam rupa al-Qur’an sebagai firman Tuhan yang paling akhir dihadirkan ke dunia sebagai jalan keselamatan dan petunjuk kebenaran bagi manusia.

Dengan kedudukan dan peran seperti itu, maka tidak salah apabila Tuhan memilih Muhammad sebagai Rasul atau Nabi penutup semua nabi (khatam al anbiya), sehingga agama yang dibawanya pun disebut penutup semua agama (khatam al adyan). Dalam riwayat hidup Muhammad sebagaimana lazimnya kisah hidup manusia, beliau dilahirkan di Mekah pada 21 April 570 Masehi atau bertepatan 12 Rabiul Awal tahun Gajah dalam kelendar Islam. Dalam buku-buku tebal yang ditulis oleh para ahli tarikh Islam, seperti at-Athabari dan Ibnu Ishak, dikisahkan sejak usia dini Muhammad sudah hidup bergelimang penderitaan akibat ditinggal wafat ayah ibunya, dan kemudian diasuh oleh kakeknya; Abdul Muthalib, serta sepeninggalnya tumbuh besar di bawah asuhan sang paman; Abu Thalib. Karena itu sejak kecil Muhammad Saw telah hidup sebatang kara, sehingga para ulama dan guru agama kita sering mengisahkan kehidupan Muhammad Saw di waktu kecil penuh kesusahan. Karena itu pula untuk mengurangi penderitaannya, pada masa remaja Muhammad Saw sudah bekerja menghidupi diri, terutama menggembala domba, dan menjalankan pekerjaan berdagang milik majikannya dari dan ke negeri Mekah-Syiria. Pada waktu usia dewasa, bahkan semenjak diangkat menjadi Rasul, kisah hidupnya masih saja berhiaskan duka cita. Itu tampak dari perjuangan dakwah pertama Muhammad Saw yang gagal di Mekkah akibat pemboikotan dan kekerasan fisik, kemudian ditinggal wafat orang-orang dekatnya; Khadijah dan Abu Thalib, sampai wafat beliau yang tidak meninggalkan harta apapun selain sebidang tanah yang diwakafkan. Namun justru dari kisah hidup yang penuh duka cita itu, beliau tumbuh menjadi manusia yang berkepribadian tangguh dan realistik, sampai-sampai masyarakat Arab pernah memberinya gelar sebagai al-Amin (orang jujur) alias dapat dipercaya (trust).

Kejujuran sang Nabi Saw ini dapat diketahui, misalnya dari perkataan, sikap dan perbuatannya yang selalu seia dan sekata sebagaimana yang terjadi ketika beliau bersama masyarakatnya memecahkan persoalan siapa yang berhak meletakkan posisi Hajar Aswad ketika selesai memperbaiki bangunan Ka’bah yang rusak akibat diterjang banjir bandang. Kejujuran Muhammad Saw inilah yang kelak membuat dirinya mampu mempertahankan sifat-sifat kerasulannya, yang terderivasi menjadi empat, yaitu amanah, tabligh, shidiq dan fathanah yang semuanya mengkristal dalam satu nilai moral, yaitu kejujuran. Untuk itu kejujuran kemudian menjadi sangat kuat mempengaruhi doktrin etika sosial dalam Islam, ia menjadi ajaran profetika yang selalu diidealkan umat di saat menyatakan keberislamannya. Kejujuran merupakan nilai universal-tertransedensi dalam kehidupan sosial yang mengandung arti sikap yang selalu konsisten dan sejalan dengan apa yang dikatakan dengan yang diperbuatnya. Kejujuran juga dapat dimaknai sebagai ungkapan batin yang terdalam dalam hati nurani tidak berbeda dengan ungkapan yang dilahirkannya dalam bahasa yang kemudian terpancar dalam tindakan.

Sebaliknya lawan dari kejujuran adalah kebohongan, kecurangan dan yang paling parah adalah kemunafikan (hipokritas). Namun rasa-rasanya manusia yang kian hidup dalam dunia peradaban yang canggih ini, agaknya telah meninggalkan nilai kejujuran, karena ia dianggap identik dengan kepolosan.Padahal kepolosan tidak lain anak kandung dari kebodohan. Dan kebodohan adalah sumber dari segala sumber keterbelakangan peradaban. Di dunia kita, semakin tinggi tingkat kecerdasan seseorang, semakin jauh ia dari kejujuran. Dengan dalih berteori dan berwacana yang njlimet, orang cerdas yang dikenal masyarakat sebagai kaum cerdik cendekia, sebenarnya ia ketika berteori atau berwacana itu sedang berkata jujur atau tidak, sulit dibedakan batas-batasnya. Ironisnya, dunia kita lalu mengembangkan bahasa baru, dengan istilah trik, manipulasi, akal-akalan, kamulfase, dan atau siasat sebagai bahasa eufemisme yang mencoba membuyarkan batas-batas antara nilai kejujuran dan kecurangan, sehingga kejujuran menjadi istilah etis yang begitu sulit dibatasi pemeriannya dan rumit pengungkapan makna faktualnya. Memang dalam dunia yang peradabannya sangat mengunggulkan ilmu pengetahuan dan teknologi saat ini, orang beramai-ramai untuk menguasai peradaban itu melalui derajat kecerdasan yang dimilikinya. Karena itu dalam dunia seperti ini, orang yang cerdas mendapat tempat yang baik di masyarakat kita. Biasanya orang yang cerdas menduduki jabatan yang tinggi dalam statifikasi sosial. Masyarakat akan memandang, misalnya lurah, guru, pejabat pemerintah, aparat militer, dosen, direktur, menteri, dan bahkan pemimpin agama (religious leader) adalah golongan cerdik cendekia.

Namun seringkali kecerdasan orang yang menduduki posisi sosial yang tinggi seperti itu tidak mudah untuk berpegang pada nilai kejujuran, lebih lagi di tengah bawahan atau masyarakatnya yang justru masih hidup dalam keberbersahajaan, jika tidak mau dikatakan dalam kebodohan. Jika kita ambil contoh; si A misalnya menjadi pejabat publik, tidak jarang kecerdasannya akan ia gunakan untuk bagaimana memanipulasi tata adimistrasi dan prosedur birokrasi, guna memperoleh keuntungan pribadi. Laporan administratif yang dikeluarkan tidak jarang dengan kenyataan di lapangan berbeda ketika ia tengah menyelesaikan proyek-proyek yang ditugaskannya bagi peruntukan publik. Di sinilah kemudian nilai kecerdasan menjadi potensi destruktif yang dapat mengancam hidup kemanusiaan publik, jika tidak dibarengi oleh kejujuran. Untuk itu tidak ada yang dapat kita kembalikan problem ini, selain kepada manusia yang paling cakap memegang kejujuran, yakni Nabi kita; Muhammad Saw. Hanya dengan kembali kepada keteladanan Nabi yang jujur inilah, kecerdasan kita yang kita milikia akan ikut serta membawa rahmat bagi peradaban kemanusiaan dunia. Tidakkah Muhammad Saw. sendiri diutus oleh Allah Swt hanya untuk memperbaharui moral kita.?  Semoga kita semua dapat mengikuti cita-citanya. Wallahu A'lamu.

*Disampaikan dalam Ceramah Ramadhan di Perumahan Wirabuana/TNI AU Kalasan Yogyakarta 19 September 2007