Oleh : Masroer Ch Jb.#
Reformasi
yang digulirkan sejak tahun 1998 telah memberikan angin segar bagi kehidupan
demokrasi di tanah air. Kehidupan berdemokrasi ini ditandai dari semakin
luasnya partisipasi politik masyarakat dalam bentuk diantaranya pertumbuhan
partai-partai politik yang pesat. Dalam Pemilu tahun 2004 dan 2009 yang digelar
beberapa tahun yang lalu menjadi bukti nyata betapa kehidupan demokrasi dapat menemukan
lahannya yang subur di tanah air, seperti dengan kehadiran puluhan partai
politik yang menjadi peserta Pemilu tersebut. Pemilihan presiden, gubernur, dan
kepala daerah tingkat II, bahkan anggota parlemen yang dilakukan secara
langsung menunjukkan bahwa partai politik yang selama ini menjadi wadah atau
media aspirasi masyarakat memiliki peran yang besar bagi pertumbuhan demokrasi
di Indonesia. Ini artinya, pemerintahan yang didirikan melalui hasil Pemilu memang
terasa mencerminkan bahwa kekuasaan yang lahir itu diberikan dan dilegitimasi
langsung oleh masyarakat.
Dengan
demikian pada era reformasi demokrasi ini, masyarakat –dengan kebebasannya-,
baik orang perorang maupun kelompok dapat serta merta mendirikan partai politik
di setiap Pemilu digelar. Partai-partai politik yang berlomba dalam Pemilu kemudian
melibatkan begitu banyak masyarakat. Mereka bersaing keras mencari dukungan
terbanyak dari masyarakat, yang tidak jarang menimbulkan konflik sosial yang
berujung pada tindak kekerasan. Di setiap Pilkada, misalnya masing-masing orang
yang menjadi calon unggulannya berkampanye dengan melibatkan begitu banyak massa
akar rumput; dengan berbagai bendera dan yel-yel yang diteriakkan;
dengan pola komunalisme yang tidak jarang mengakibatkan munculnya kebringasan
sosial yang mengkhawatirkan kita semua. Padahal, pertumbuhan demokrasi yang
disertai dengan tindak kekerasan seperti itu hanya akan menciptakan demokrasi yang berwatak liberal dalam arti kebebasan berpolitik menjadi bersifat liar dan anarkhi.
Hal ini bisa jadi karena demokrasi masih berkutat pada persoalan mekanisme politik
yang diatur berdasarkan tata tertib administrasi yang tidak menyentuh nilai-nilai dan kultur demokrasi itu sendiri.
Dari demokrasi yang bersifat liberal dengan kebebasan mendirikan partai politik dan berekpresi itu, kemudian mengalami pergeseran ke menguatnya demokrasi prosedural, dimana kehidupan demokrasi hanya bertumpu pada syarat-syarat administratif yang bersifat konstitutif. Memang demokrasi model ini ada baiknya juga, akan tetapi ia menjadi bias jika tidak disertai dengan tumbuhnya nilai-nilai demokrasi yang menjunjung tinggi semangat kemanusiaan dan penguatan peradaban nasional. Oleh karena itulah untuk membangun demokrasi yang berbasis pada karakter nasional itu, kita hendaknya dapat menumbuhkembangkan nilai-nilai demokrasi itu sendiri, yakni prinsip bermusyawarah, keadilan, persamaan, menghargai perbedaan pendapat, toleransi, dan tetap dalam semangat menjaga kecintaan terhadap tanah air.
Dengan nilai-nilai demokrasi yang seperti itu diharapkan kepemimpinan yang lahir dalam kehidupan demokrasi akan mampu menegakkan empat pilar kebangsaan, yaitu Pancasila, UUD 1945, Bhineka Tunggal Ika, dan NKRI. Ini artinya kepemimpinan yang lahir dalam kehidupan demokrasi yang bertumpu pada penguatan karakteristik nilai-nilai nasional itu tidak akan lagi menciptakan figur kepemimpinan yang bersifat primordial, dan sektarian yang bertentangan dengan empat pilar kebangsaan kita itu. Wallahu A’lamu.
----------------------------
#Disampaikan dalam Seminar Sehari; Menguak Geneologi Kekerasan dan Posisi Empat Pilar Kebangsaan Di tengah Arus Kebebasan, Forum Pemuda Cinta Tanah Air bekerjasama dengan Kementrian Dalam Negeri RI - Yogyakarta, 13 Desember 2011.